Dr. KARL MAY MUSTANG HITAM Jilid II I. MENANGKAP IK SENANDA Sesudah orang-orang Comanche tiada kelihatan lagi, maka Ik Senanda melepaskan pelana dari atas kudanya lalu menambatkan tunggangannya pada pohon. Kini ia tiada dapat lagi menahan keinginannya untuk melihat isi bungkusan. Maka dilepaskannya ikatan dan selubung bungkusan itu dan diambilnya isinya satu demi satu. Kagum ia melihat bedil-bedil yang termasyhur di seluruh daerah Barat itu! Dalam pada itu segala gerak-geriknya diamat-amati oleh Winnetou dan Old Shatterhand yang bersembunyi di belakang semak-belukar. Mereka berdua sangat bersukacita, sebab hasil percakapan cucu dan nenek itu sangat menguntungkan mereka. Mereka melihat betapa girangnya Ik Senanda mengamat-amati bedil mereka. Mereka merasa senang melihat betapa Ik Senanda bersinar-sinar kekaguman. Tak habis-habisnya peranakan Indian itu membelai-belai senjata-senjata yang paling bagus dan paling masyhur di seluruh daerah Barat itu. Akan tetapi kegembiraan Ik Senanda tidak akan berlangsung lama. Winnetou menguakkan dengan perlahan-lahan sekali beberapa ranting, lalu merangkak terus dengan sangat hati-hati. Old Shatterhand mengikutinya dari belakang dengan sangat hati-hati pula. Kemudian mereka bangkit. Dengan beberapa langkah saja maka mereka sudah berdiri di belakang Ik Senanda. Semuanya itu dilakukannya dengan lemah lembut, sedemikian, sehingga orang Mestis itu tiada mendengarnya atau mengetahuinya. Justru pada saat itu Ik Senanda berseru kegirangan: "Ya, inilah bedil perak Winnetou, ini bedil pembunuh-beruang yang beratnya sama dengan tiga buah bedil biasa dan yang satu ini bedil Henry yang terkenal sebagai bedil sakti milik Old Shatterhand. Saya tahu bahwa ini bukan bedil sakti. Keunggulannya terletak dalam konstruksinya dan dalam kecakapan Old Shatterhand membidikkan pelurunya. Ketiga buah bedil ini tidak akan saya lepaskan dari tangan saya, bahkan Tokvi Kava tidak akan memperolehnya kembali walaupun ia ayah ibu saya. Saya akan berlatih dengan bedil Henry ini sedemikian lamanya sampai saya memperoleh kecakapan seperti Old Shatterhand. Maka saya akan menjadi lebih masyhur daripada dia!" Tiba-tiba ia mendengar suara Old Shatterhand di belakangnya: "Engkau sedang bermimpi, bedebah! Engkau tidak akan pernah dapat mempergunakan bedil ini!" Ik Senanda terkejut sekali lalu berpaling. Demi ia melihat Old Shatterhand dan Winnetou, maka ia sudah sedemikian terkejut sehingga ia tidak dapat mengeluarkan sepatah kata jua pun dan sejenak lamanya tidak bergerak sama sekali. "Ya," kata Old Shatterhand dengan tersenyum dan sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. "Engkau tidak akan dapat mempergunakan bedil ini, pertama karena engkau tidak mempunyai peluru yang diperlukan untuk bedil ini dan tidak tahu pula di mana peluru itu dapat diperoleh dan kedua karena saya ada di sini untuk mengambil kembali milik saya." Oleh karena Mestis itu tiada membuka mulutnya maka Old Shatterhand menyambung: "Tadi engkau mengatakan bahwa bedil itu tidak akan kaulepaskan lagi dari tanganmu. Adakah engkau mengira bahwa Winnetou dan Old Shatterhand akan membiarkan senjatanya dicuri orang tanpa berusaha memperolehnya kembali? Betul-betulkah engkau mengira bahwa kami meninggalkan perkemahan Firewood dengan kereta api oleh karena kami takut? Saya tidak mengira bahwa engkau sebodoh itu. Ya, engkau bodoh, bodoh sekali. Tidak ada kata lain yang lebih serasi bagimu." Kini orang peranakan itu sudah mulai bergerak sedikit, akan tetapi tidak bergerak untuk mencoba melarikan diri. Itu tidak terpikir olehnya, karena ia sudah terkejut sekali. Dengan suara yang terputus-putus ia berkata: "Old... Shat... ter... hand dan... Win... ne... tou! Ya, merekalah itu!" "Itu tidak salah," jawab Old Shatterhand dengan tertawa. "Air mukamu menunjukkan ketakutan. Engkau hendak menangkap kami dan kini engkau sudah berhadapan dengan kami. Mengapa kami tidak segera kautangkap? Sebaliknya, engkau menggagap! Tiada malukah engkau?" Kini orang Mestis itu sudah mulai menguasai dirinya lagi. Ia surut selangkah sambil mencekau terus ketiga buah bedil itu seraya berkata: "Apa? Saya takut? Baik Winnetou maupun Old Shatterhand tidak dapat membuat saya takut. Engkau hendak mengambil kembali bedilmu? Uf! Cobalah kalau engkau dapat!" Sambil mengucapkan kata-kata yang terakhir itu ia bergerak hendak lari. Ia tidak dapat mempergunakan kudanya oleh karena kuda itu tertambat dan untuk melepaskan ikatan itu ia memerlukan waktu. Karena itu maka terpaksalah ia berlari dengan kakinya saja. Maksudnya ialah hendak bersembunyi di dalam semak-belukar atau menyesatkan musuhnya di sana. Dalam pada itu ia tidak mengindahkan kecerdikan lawannya. Winnetou dan Old Shatterhand sudah mengira sebelumnya bahwa Ik Senanda akan lari ke arah semak belukar. Dengan lima langkah saja Old Shatterhand sudah menyusulnya. Maka orang peranakan itu dipegang erat-erat oleh kedua orang lawannya. Old Shatterhand mencabut pistolnya lalu berseru: "Berhenti! Engkau harus ikut kembali ke tempatmu semula. Jika engkau berani mencoba lari lagi maka peluru ini akan menembusi dadamu. Hm, engkau hendak melarikan diri! Bodoh benar. Engkau mengira bahwa engkau dapat lolos dari kepungan Old Shatterhand dan Winnetou?" Maka orang Mestis itu dibawa kembali ke tempatnya semula. Winnetou merampas ketiga buah bedil yang masih dipegang oleh Ik Senanda, kemudian dirampasnya juga pisaunya dan dipungutnya bedil Mestis yang terletak di tanah. Kemudian Ik Senanda dilemparkan ke tanah oleh Old Shatterhand. Peranakan Indian itu hampir tiada dapat menahan kemarahannya, akan tetapi ia mengerti bahwa setiap percobaan untuk memberi perlawanan hanya akan mempersulit keadaannya saja. Karena itu ia menyerah sambil menunggu kemungkinan untuk melepaskan diri nanti. Old Shatterhand meletakkan dua buah jari di antara bibirnya lalu bersiul dengan nyaring. Kemudian mereka berdua duduk di sisi tawanannya. Mereka menunggu kedatangan kawan-kawannya yang sudah diberi tanda supaya datang. Hobble-Frank dan Droll segera mengetahui makna siulan Old Shatterhand, sebab dahulu mereka lama sekali mengembara bersama-sama dengan dia. Tak lama kemudian datanglah mereka disusul oleh kedua Timpe. Dengan segera mereka mengetahui bahwa usaha Winnetou dan Shatterhand sudah berhasil. Frank turun dari atas kudanya lalu berseru: "Amboi! Sekali lagi saya menyaksikan keagungan kedua orang guru saya ini. Orang-orang kulit merah sudah pergi dan peranakan ini kini sudah menumpang pada kita. Ke mana orang-orang Comanche pergi dan bukankah orang ini sahabat kita orang Mestis?" Dengan singkat Old Shatterhand menceriterakan apa yang sudah terjadi dan bagaimana mereka berdua telah dapat menangkap Ik Senanda. "Ya," kata Hobble-Frank. "Apabila ia hendak memiliki bedil-bedil ini, maka ia harus menunggu sampai pemiliknya meninggal dan dalam pada itu ia harus berusaha agar ia dapat diangkat sebagai anak piara oleh Anda. Tetapi oleh karena ia sangat tergesa-gesa maka sebaiknya ia kita beri upah yang setimpal. Bukankah begitu, Mr. Shatterhand?" "Ia pasti akan mendapat hukumannya, Frank sahabatku. Tunggu sajalah." "Ya, Anda selalu menyuruh kami menunggu apabila ada orang harus menerima hukuman. Akhirnya Anda akan memberi ampun juga. Tetapi sekali ini saya mengusulkan agar orang ini diadili seadil-adilnya. Barangsiapa mencuri senjata Old Shatterhand dan Winnetou, dengan sengaja menimbulkan bahaya besar yang dapat mengancam jiwa kedua orang agung itu. Hukuman yang adil ialah hukuman yang seberat-beratnya!" Old Shatterhand berpaling kepada tawanannya lalu berkata: "Sebutkanlah namamu yang sebenarnya." Mestis itu menjawab dalam bahasa Inggeris: "Adakah saya seorang Indian? Anda tidak berhak memanggil saya dengan 'engkau'!" "Kulitmu lebih daripada merah, martabatmu lebih rendah dari martabat orang kulit merah. Setiap orang tahu bahwa orang peranakan mewarisi sifat-sifat yang buruk-buruk saja dari kedua orang tuanya. Engkau adalah bukti yang paling baik." "Anda boleh menghina saya sebanyak Anda sukai. Saya tawanan Anda dan oleh sebab itu saya tidak dapat memberi perlawanan, akan tetapi dapat saya katakan kepada Anda: barangsiapa memanggil saya dengan 'engkau' akan saya panggil juga dengan 'engkau'." "Dengarkanlah apa yang akan saya katakan kepadamu! Apabila engkau berani memanggil saya dengan "engkau," maka engkau akan saya telanjangi dan akan saya pukuli punggungmu dengan lasso sedemikian lamanya sampai kulitmu lebih merah daripada kulit orang Indian. Nah, katakanlah sekarang siapa namamu yang sebenarnya. Saya tidak biasa mengulang pertanyaan saya." Ik Senanda tahu bahwa Old Shatterhand tidak berolok-olok. Karena itu maka, tanpa mempergunakan kata 'engkau', ia menjawab: "Nama saya yang sebenarnya telah Anda ketahui. Nama saya ialah Yato Inda; ibu saya wanita Indian dari suku Apache-Pinal." "Itu dusta. Anda ialah Ik Senanda, cucu Mustang Hitam." "Buktikanlah!" "Dengan bersikap kurang ajar tak dapat engkau menutupi dustamu." "Apa yang Anda sebut kurang ajar tiada lain daripada hak saya. Mengapa saya Anda perlakukan sebagai musuh? Menurut undang-undang savanna Anda harus memberi keterangan tentang sikap Anda yang ganjil itu. Atau adakah Old Shatterhand, yang menyebut dirinya orang yang paling adil di antara orang-orang kulit putih, kini sudah memihak kaum penyamun dan pembunuh?" Demi Cas mendengar kata-kata itu maka dengan marah sekali ia berseru: "Akan saya tamparkah anak kecil yang kurang ajar ini? Sikapnya lebih kurang ajar daripada tempo hari pada ahli waris Timpe!" Old Shatterhand memberi isyarat bahwa ia harus menutup mulutnya dan dengan tenang sekali ia berpaling kepada tawanannya: "Tentu saja setiap orang terdakwa mempunyai pelbagai hak, dan saya tidak akan menyangkal adanya hak-hak itu. Oleh sebab itu maka kekurangajaranmu tidak akan saya indahkan, melainkan saya hendak bertanya kepadamu dengan tegas: adakah engkau sebagai pandu dan penjaga perkemahan Firewood bersikap jujur terhadap penghuninya?" "Ya." "Tetapi mengapa engkau dengan sembunyi-sembunyi mengadakan hubungan dengan orang-orang Comanche?" "Buktikanlah bahwa saya sudah berbuat begitu?" "Pshaw! Mengapa engkau lari, demi engkau tahu bahwa kami sudah mendapatkan jejak Mustang Hitam?" "Saya tidak lari." "Apakah yang engkau perbuat?" "Saya tidak melarikan diri karena takut, melainkan saya berlari dengan maksud yang baik." "Kalau begitu ingin sekali saya mengetahui apa maksud yang baik itu?" "Tiada tahukah Anda? Anda, yang menyebut diri Anda orang yang paling cerdik! Saya pun ada melihat juga jejak-jejak yang mencurigakan itu; saya mendengar perkataan Anda yang mengandung syak wasangka terhadap saya. Anda hanyalah tamu belaka, Anda tidak mempunyai kewajiban suatu apa, akan tetapi saya wajib melindungi para penghuni perkemahan. Itu tugas saya dan karena itulah saya segera menaruh curiga demi saya melihat jejak orang-orang kulit merah itu." "Itu baik sekali. Dalih itu benar-benar dapat saya terima sekiranya tidak segera saya harus bertanya mengapa engkau segera balik kembali ke perkemahan untuk mengintai apa yang kami perbuat di sana." "Saya tidak balik kembali. Siapakah yang membohongi Anda." "Engkau sendiri." "Saya? Bagaimana?" "Oleh karena itu sudah kaukatakan sendiri." "Bilamana? Di mana?" "Itu akan saya katakan nanti. Jadi engkau telah pergi menyelidiki gerak-gerik orang-orang Comanche. Bagaimana engkau dapat mengerjakannya dalam gelap-gulita?" "Orang yang mengemukakan pertanyaan serupa itu bukanlah seorang pemburu prairi!" "Engkau gegabah sekali. Barangkali engkau menyangka bahwa engkau lebih cakap daripada kami semua yang ada di sini. Saya akui kecakapanmu yang luar biasa itu dan saya kagum bahwa engkau dapat mengikuti musuh dalam gelap-gulita, bahkan bahwa engkau sudah dapat bercakap-cakap dengan musuh itu tanpa ditangkapnya atau dibunuhnya." "Itu tak usah mengherankan, sebab dapat diterangkan dengan mudah sekali. Orang-orang Comanche sedikit pun tidak mengetahui bahwa dari pihak ibu saya, saya berasal dari musuh mereka, yaitu suku Apache-Pinal. Lagi pula secara lahir saya selalu bersahabat dengan mereka dan mereka pun memandang saya sebagai sahabatnya. Selalu saya disambutnya dengan rasa persahabatan." "Baik! Akan tetapi terangkanlah dengan jalan bagaimana bedil-bedil kami jatuh ke tangan Anda?" Pertanyaan itu agak membingungkan Mestis, akan tetapi untuk menyembunyikannya ia segera menjawab: "Justru itulah hendaknya menjadi bukti bagi Anda bahwa saya bersikap jujur dan sudi menolong Anda. Kemarin malam saya melihat senjata-senjata Anda, yang ketika itu belum saya kenal. Hari ini senjata-senjata itu ada saya lihat pada orang Comanche dan Mustang Hitam sudah membanggakan diri bahwa ia dapat mencurinya. Agar saya dapat mengembalikan milik Anda kepada Anda, maka bedil-bedil itu sudah saya curi kembali. Mustang Hitam sudah pergi tanpa mengetahui bahwa bedil-bedil ini tidak ada lagi padanya." "Kalau begitu maka saya harus mengakui bahwa perbuatan Anda itu adalah perbuatan yang luar biasa. Orang lain tidak akan dapat mengerjakannya. Dengan demikian maka terbuktilah bahwa engkau mempunyai kecakapan yang tak ada bandingannya, sedang Mustang Hitam adalah seorang ketua suku yang lebih bodoh daripada seorang kanak-kanak. Jadi engkau bermaksud mengembalikan bedil-bedil itu kepada kami?" "Ya." "Kalau begitu maka masih harus kauterangkan juga apa sebabnya engkau hendak melarikan diri demi engkau melihat kami?" "Karena terkejut belaka, sebab saya tidak segera mengenali Anda kembali." "Tidak mengenali? Bukankah engkau sudah menyebut nama kami?" Peranakan Indian itu tiada dapat memberi jawab. Kini ia berbuat pura-pura marah lalu berseru: "Jangan Anda bertanya tentang apa-apa yang tak dapat Anda pahami! Jikalau orang mengira bahwa ia duduk dengan aman di tengah-tengah semak-belukar dan sekonyong-konyong disergap oleh orang yang sedikit pun tidak disangkanya ada di dekatnya, maka sudah sewajarnyalah bahwa ia menjadi gugup dan tidak dapat bertindak dengan tenang. Apabila Anda tidak dapat memahaminya dengan otak Anda maka tidak adalah gunanya saya membuang-buang waktu untuk menerangkannya!" "Ya, jangan engkau membuang-buang waktu lagi, sebab setiap perkataanmu adalah dusta belaka atau dalih yang menyatakan kebodohanmu. Rupa-rupanya engkau mengira bahwa kami baru saja datang, akan tetapi itu salah. Kami sudah bersembunyi di belakang semak-semak sebelum engkau datang. Sebelum itu kami telah mengintai Mustang Hitam dan kami mendengar setiap perkataan yang kausampaikan kepada nenekmu. Mustang Hitam menyebut engkau putra anaknya, ia menyerahkan bedil-bedil kami kepadamu dan setelah Mustang Hitam pergi engkau membelai-belai dan mengagumi milik kami. Bahkan engkau bermaksud hendak memilikinya sendiri, engkau tak hendak mengembalikannya kepada ayah ibumu. Engkau bermaksud hendak berlatih dengan bedil Henry saya, agar engkau lebih pandai menembak daripada saya. Apakah yang hendak kaukatakan lagi, Ik Senanda? Apa gunanya engkau mempergunakan dalih sebanyak itu? Masih percayakah engkau bahwa engkau dapat menipu kami. Bukankah engkau sudah membuktikan bahwa engkau pengecut, dengan tidak berani menyebutkan namamu yang sebenarnya. Kami sudah biasa menghormati orang yang bersikap gagah berani. Sekiranya engkau dengan terus terang menyebutkan namamu yang sebenarnya, maka engkau akan saya pandang sebagai orang yang berani. Sekiranya engkau berterus terang saja bahwa engkau bermaksud hendak menyerahkan para penghuni perkemahan Firewood kepada orang-orang Comanche, maka betul engkau akan saya pandang sebagai musuh, akan tetapi engkau akan saya perlakukan sebagai musuh yang terhormat. Tetapi sikapmu berlainan sekali. Engkau seorang pengecut yang harus saya pandang lebih rendah daripada seekor coyote. Kini engkau mengetahui bahwa kami tahu akan segala-galanya. Maukah engkau sekarang mengaku bahwa engkau adalah Ik Senanda, cucu Mustang Hitam?" Sesungguhnya bukanlah kebiasaan seorang pemburu prairi untuk menyia-nyiakan sekian banyak perkataan terhadap seorang pengecut, akan tetapi memang Old Shatterhand selalu berperikemanusiaan. Dengan kata-kata itu ia bermaksud hendak membangkitkan rasa kehormatan diri pada orang Mestis itu, akan tetapi dalam hal ini usahanya tidak berhasil. Peranakan Indian itu tidak mau meninggalkan sikapnya yang tidak jujur, ia berkata: "Tadi sudah saya katakan bahwa saya bukan Ik Senanda. Nama saya Yato Inda. Dapatkah saya berbuat lain daripada berkata benar? Anda sudah memperoleh kembali bedil-bedil Anda. Lepaskanlah saya!" "Sabar, sabar, my boy! Oleh karena engkau tetap berbohong, maka justru karena itu tak dapat kami melepaskan engkau. Engkau akan kami bawa ke nenekmu. Saya ingin mengetahui adakah nenekmu pengecut juga, sehingga ia akan menyangkal bahwa engkau cucunya." Pada saat itu mata Mestis itu berkilat-kilat dan ia pun bertanya: "Saya hendak Anda hadapkan kepada Mustang Hitam?" "Ya." "Cobalah kalau Anda dapat berbuat demikian." "Tentu saja kami dapat, itu tak usah kauragu-ragukan! Akan tetapi caranya lain sekali daripada yang engkau sangka. Jangan engkau salah perhitungan. Barangkali engkau mengharapkan akan dibebaskan oleh Mustang Hitam, akan tetapi yakinlah bahwa nenekmu akan kami tangkap juga." Peranakan Indian itu kini membuat suatu kesalahan lagi dengan berseru dengan marah: "Ia tidak akan berbuat begitu! Old Shatterhand maupun Winnetou tidak akan dapat menangkap Mustang Hitam!" "Ha, kini terbuka lagi kedokmu! Akan tetapi jangan engkau menjadi marah, kami sudah dapat menangkap berkian-kian orang yang lebih cerdik dan lebih berani daripada Mustang Hitam." "Bagaimana Akan hendak menangkapnya? Anda tidak tahu ke mana ia pergi." "Tadi sudah saya katakan bahwa kami telah mendengarkan percakapanmu dengan dia. Ia kembali ke perkemahan Firewood." "Dan Anda hendak menyusulnya?" "Ya." "Anda hanya berenam saja. Tidakkah Anda melihat betapa besar pasukannya?" "Pshaw! Kami bukan pengecut seperti engkau. Kami tidak bermaksud menghitung jumlah prajurit-prajurit Comanche. Bagi kami sama saja adakah jumlah mereka sepuluh atau seratus orang." "Jangan Anda membual. Mereka itu ialah prajurit-prajurit Comanche Naiini, prajurit-prajurit yang paling jantan. Sekalipun Anda tidak takut akan mereka dan sekiranya Anda benar-benar berani menyusul mereka, maka Anda tiada akan dapat menyusul, sebab kini mereka sudah jauh sekali dan sebelum Anda sampai ke Firewood, maka perkemahan itu sudah hangus!" "Nah, kini engkau menampakkan mukamu yang sebenarnya. Maka saya akan menampakkan muka saya yang sebenarnya juga. Saya mau berterang-terang bahwa kami akan datang lebih dahulu ke perkemahan Firewood daripada orang-orang Comanche." "Mustahil!" "Itu dapat saya buktikan dengan mudah sekali." "Dapatkah kuda Anda terbang?" "Ya, kami orang kulit putih mempunyai kuda yang dapat terbang." Mendengar kata-kata itu Ik Senanda tertawa gelak-gelak. Old Shatterhand tidak menjadi marah, melainkan ia meletakkan tangan kanannya ke atas bahu orang peranakan itu sambil berkata dengan tertawa: "Engkau boleh tertawa, my boy! Nanti akan datang saatnya engkau tidak dapat tertawa lagi. Lebih dahulu kita akan meninggalkan tempat ini. Engkau akan lebih lekas berjumpa dengan nenekmu daripada yang engkau sangka. Engkau akan saya ikat pada kudamu. Sebaliknya jangan engkau melawan, sebab kami mempunyai cukup kuasa untuk memaksa engkau mematuhi perintahku!" Mestis itu tidak melawan. Ia yakin bahwa apabila ia hendak meloloskan diri, maka itu hanya dapat dilakukannya dengan mempergunakan kecerdikan belaka. Ia yakin bahwa ia sangat cerdik dan ia yakin pula bahwa enam orang belaka tidak akan dapat berbuat apa-apa terhadap Mustang Hitam. Ia yakin seyakin-yakinnya bahwa ia tidak akan lama menjadi tawanan. Ik Senanda menduga bahwa kelompok Old Shatterhand akan mengikuti jejak orang-orang Comanche. Demi ia melihat bahwa Winnetou dan Old Shatterhand mengambil arah yang berlawanan, maka ia sangat heran. Ia tidak dapat menerka sebab apa mereka itu mengambil jalan yang mengeliling, lebih-lebih oleh karena mereka berjalan cepat-cepat, jadi rupa-rupanya sangat tergesa-gesa. Segera ia melihat jalan kereta api, dan demi ia melihat pula bahwa orang-orang itu mengikuti jalan kereta api itu, maka ia mulai menduga apa maksud mereka. Maka ia menjadi takut sekali. Ketakutan itu tampak dengan nyata pada air mukanya. Hobble-Frank yang melihat perubahan wajah Ik Senanda, segera berseru: "Lihatlah muka peranakan itu. Rupa-rupanya ia mulai mengerti. Geli hati saya melihat sikapnya sekarang. Begitu pulalah engkau, Droll?" "Ya," jawab saudara sepupunya. "Rupa-rupanya kini ia mulai mengerti, kuda apa yang dimaksud oleh Old Shatterhand tadi." "Kuda mana?" "Kuda yang dapat terbang. Tidak adakah engkau mendengarnya?" "Dengan jelas sekali! Yang dimaksud Mr. Shatterhand ialah lokomotif yang akan segera membawa kita ke perkemahan Firewood. Bagaimana pendapatmu, kita akan lebih dahulu sampai ke Firewood-camp daripada Mustang Hitam? Alangkah celakanya sekiranya kita datang terlambat!" "Ya, dalam hal itu maka teman-teman kita di Firewood akan binasa semuanya. Tetapi saya percaya bahwa Old Shatterhand dan Winnetou sudah membuat perhitungan yang tepat. Kita tidak usah merasa khawatir. Bukankah kita sekarang berjalan seakan-akan kita dikejar oleh setan. Sudah lama sekali saya tidak berkuda secepat ini." "Saya begitu juga, akan tetapi saya merasa senang. Bagi saya tidak ada rasa yang semulia menunggang kuda seakan-akan terbang di atas padang rumput Amerika. Akan tetapi bagi engkau rupa-rupanya perjalanan ini merupakan suatu hukuman." "Hukuman? Bagi saya? Mengapa? Adakah engkau mengira bahwa saya tidak pandai menunggang kuda?" "Bukan, bukan itu maksud saya. Tetapi penyakitmu, pulau Ischia masih saja terbayang di muka mataku. Tentu engkau masih menderita sakit!" "O, sama sekali tidak. Pulau itu sudah hilang, bahkan sedikit pun tidak membekas. Saya tidak merasa sakit lagi, baik di pinggang saya maupun di kaki saya." "Bagus, bagus benar! Asal saja tidak balik kembali dalam bagian badan yang lain! Penyakit serupa itu biasanya jahat sekali, seringkah dengan diam-diam menyuruk-nyuruk untuk masuk kembali, apabila orang lengah." "Saya kira tidak begitu. Rasanya pulau itu sudah takut sekali kepada Winnetou dan saya. Lagi pula, Bibi Droll belum pernah sakit dan apabila ia sudah sembuh, maka penyakitnya pasti akan menghilang untuk selama-lamanya." Sebagai pembaca maklum, ia disebut Bibi Droll oleh karena pakaiannya lebih menyerupai pakaian wanita tua daripada pakaian pria. Ia sudah sedemikian biasa dipanggil orang dengan sebutan itu, sehingga dia sendiri acapkali mempergunakannya. Dari percakapan kedua orang bersaudara itu, dapatlah kita mengambil kesimpulan bahwa kelompok Old Shatterhand berjalan seakan-akan mereka mengadakan pacuan kuda. Hanya sekali-kali saja mereka berjalan perlahan-lahan untuk memberi kesempatan kepada kudanya melepaskan lelah sedikit. Dengan demikian maka perjalanan kembali itu ditempuhnya dalam waktu yang lebih singkat daripada perjalanan mereka ke Alder-spring. Ketika mereka sampai ke stasiun Rocky Ground maka orang pertama yang menyambut mereka ialah Mr. Swan, insinyur yang tegap-perwira itu. "Hallo!" serunya dari jauh. "Anda sudah balik kembali? Berhasilkah usaha Anda? Orang-orang Comanche sudah Anda...?" Sekonyong-konyong ia berhenti berbicara, karena ia melihat pandu Firewood terikat pada kuda. Akan tetapi segera ia menyambung: "AU devils! Betulkah itu Mr. Yato Inda, pandu perkemahan Firewood? Dan ia terikat! Adakah ia tawanan Anda, Sir?" "Ya," jawab Old Shatterhand. "Barangkali Anda mempunyai tempat di mana kita dapat menyimpan dia tanpa ada risiko bahwa ia akan pergi berjalan-jalan." "Ada, bahkan tempat yang baik sekali, Sir! Barangsiapa saya simpan di sana, tidak akan dapat pergi berjalan-jalan. Baiklah saya tunjukkan tempat itu kepada Anda!" Tempat yang dimaksudnya itu ialah sebuah sumur yang sedang dibuat. Walaupun sumur itu agak dalam, namun belum ada airnya. Demi Mestis mendengar bahwa ia akan dimasukkan ke sana, maka ia segera meraung-raung, akan tetapi tidak dihiraukan orang. Insinyur berpaling kepada Old Shatterhand: "Orang yang sejahat ini akan kita perlakukan dengan halus? Betul ia tawanan Anda, akan tetapi kejahatannya tertuju pada kita semua. Perkenankanlah saya memberi pelajaran kepadanya, Sir!" "Silakan," jawab Old Shatterhand. "Ia sudah saya serahkan kepada Anda dan saya tidak bermaksud untuk berurusan lebih lama lagi dengan dia. Rencananya tidak ditujukannya kepada kami, melainkan kepada para pegawai kereta api. Tetapi jagalah agar hari ini tak dapat ia menipu kita." "Tentang itu jangan hendaknya Anda merasa khawatir, Mr. Shatterhand. Ia tidak akan dapat meninggalkan sumur ini sebelum saya beri izin dengan tegas." Kemudian ia memanggil beberapa orang anak-buahnya yang disuruhnya mengikat tawanan itu. Kemudian Ik Senanda diturunkan orang ke dalam sumur. Oleh karena Mestis itu menyepak-nyepak dan memberi perlawanan ketika ia diturunkan, maka ia pun ditarik kembali ke atas, lalu badannya diikatkan kepada sebuah balok bantal kereta api, lalu diturunkan kembali, setelah dipukuli beberapa kali. Sikap insinyur itu tidak sehalus sikap Old Shatterhand. II. KE GUA BIRIK Sementara menunggu kedatangan kelompok Old Shatterhand, insinyur setasiun Rocky Ground sudah membuat persiapan seperlunya. Anak buahnya disuruhnya memeriksa dan membersihkan bedil mereka masing-masing. Lagi pula ia sudah menyiapkan lokomotif beserta beberapa buah gerbong, kalau-kalau nanti akan diperlukan untuk mengangkut bala bantuan ke perkemahan Firewood. Keenam orang pemburu prairi dijamu dengan makan siang yang berlebih-lebihan. Kudanya diberi minum dan makan secukupnya. Sementara itu Old Shatterhand menceriterakan kepada insinyur apa yang sudah dialaminya pagi itu. "Hasil usaha Anda lebih baik daripada yang saya harap-harapkan," kata insinyur. "Saya bergirang hati benar bahwa Anda sudah dapat menangkap peranakan Indian itu. Siapa menyangka bahwa ia mempunyai maksud sejahat itu! Yakinkah Anda bahwa orang-orang Comanche itu benar-benar pergi ke Firewood untuk menyerang perkemahan rekan saya? Kalau Anda yakin benar, maka kami dapat memberi bantuan. Senang sekali saya, bahwa kami pun akan mendapat peranan pula." "Ya, saya memang mengharapkan bantuan Anda dan anak buah Anda," jawab Old Shatterhand, "sebab insinyur rekan Anda tidak dapat saya andalkan benar." "Itu benar, Sir! Betul ia rekan saya, sehingga saya tidak boleh memburukkan namanya, akan tetapi memang saya tahu bahwa ia bukan seorang pahlawan. Apalagi pegawai-pegawainya orang kulit kuning; apabila mereka melihat musuh datang, tentu mereka akan lari tunggang-langgang. Pegawainya orang kulit putih jumlahnya hanya sedikit sekali." "Sayang sekali, sebab dalam keadaan yang sedang kita hadapi ini mereka tidak berguna sama sekali bagi kita. Saya kira lebih baik urusan ini kita selesaikan sendiri. Mereka tak perlu mengetahui apa yang kita rencanakan. Jangan-jangan mereka hanya akan mengacau saja." "Baik sekali! Jumlah kita lebih daripada sembilan puluh orang, sehingga tak ada alasan bagi kita untuk merasa takut menghadapi orang-orang kulit merah itu." "Itu betul, bahkan saya yakin bahwa kita dapat menyelesaikan urusan ini tanpa menumpahkan darah setitik pun, setidak-tidaknya pada pihak kita. Akan tetapi bagaimana kita dapat pergi ke perkemahan Firewood dengan sembilan puluh orang tanpa dapat diketahui oleh penghuni Firewood, kecuali apabila Anda boleh menyuruh lokomotif berhenti sebelum sampai ke setasiun." "Itu dapat, siapakah yang dapat menghalang-halangi saya berbuat begitu?" "Baik, akan tetapi tiadakah Anda harus memberi kabar ke Firewood apabila kereta api berangkat?" "Sesungguhnya begitu, akan tetapi sekali ini akan saya tinggalkan. Itu tidak akan merupakan suatu bencana." "Tahukah Anda tempat yang disebut Gua Birik, ke mana Mustang Hitam akan membawa pasukannya?" "Tahu benar, Sir. Lembah itu terletak di belakang perkemahan di bawah sebuah bukit. Dinding bukit itu sangat terjal dan untuk turun ke sana orang hanya dapat mempergunakan sebuah jalan yang sempit, yang melalui sebuah pohon Birik yang sudah tua sekali. Karena pohon itulah maka lembah itu disebut Gua Birik." "Hra! Kalau begitu Mustang Hitam tidak cerdik, membawa pasukannya ke sana." "Tidak cerdik? Sebaliknya! Di seluruh daerah itu tidak ada tempat persembunyian yang lebih baik dari gua tersebut dan Mustang Hitam niscaya tiada menduga bahwa rencananya sudah kita ketahui. Pada pendapat saya pilihannya itu baik sekali." "Pada pendapat saya tidak. Dapatkah orang merangkak ke atas dari lembah tersebut?" "Hanya pada satu tempat saja, lagi pula hanya dapat dikerjakan pada siang hari." "Dapatkah orang dari luar merangkak sampai ke batas lembah itu?" Insinyur segera mengangkat kepalanya lalu memandang Old Shatterhand serta menjawab: "O, Sir, saya kira kini saya dapat menerka apa yang Anda rencanakan." "Nah, katakanlah!" "Anda hendak menempatkan kita pada batas lembah dan apabila orang-orang kulit merah sudah masuk ke dalamnya maka jalan masuk itu akan Anda tutup. Bukankah begitu?" "Dan sekiranya benar begitu?" "Maka rencana Anda boleh kita katakan sempurna. Orang-orang Indian itu akan terjebak dan terkepung di dalam Gua Birik tanpa ada kemungkinan suatu pun untuk meninggalkan tempatnya." "Memang itulah rencana saya. Jadi anak buah Anda dapat naik ke atas sampai ke pinggir lembah?" "Ya. akan tetapi dapatkah Mr. Winnetou menyetujui rencana Anda?" Selama itu ketua suku Apache berdiam diri saja. Ia tidak suka berbicara banyak-banyak, biasanya tugas itu diserahkannya kepada Old Shatterhand. Akan tetapi oleh karena kini diminta pendapatnya maka ia menjawab: "Pikiran Old Shatterhand dan Winnetou selalu sama. Rencana saudara saya orang kulit putih baik sekali dan harus dilaksanakan seperti yang dikehendakinya. Howgh!" "Bagus!" kata insinyur. "Saya setuju benar. Sebelum senja kita sudah akan sampai di sana dan sebelum orang-orang Indian datang kita sudah akan berjaga di pinggir lembah. Tidak perlukah kita membawa penerangan dalam gelap gulita itu?" "Ya, itu perlu," jawab Old Shatterhand. "Alat-alat apa ada pada Anda, Mr. Swan? Alat-alat itu harus kita bawa dari sini, tidak dapat kita mengambilnya dari perkemahan Firewood, sebab orang-orang di sana tidak boleh mengetahui rencana kita." "Semuanya beres, Mr. Shatterhand. Kita sering sekali mempergunakan suluh apabila kita harus bekerja pada malam hari. Persediaan kita lebih daripada cukup. Lagi pula kita mempunyai beberapa tahang minyak tanah." "Tahang-tahang itu sukar sekali kita angkut, akan tetapi sesungguhnya baik sekali apabila kita dapat menyalakan api tahang tepat pada jalan masuk ke dalam gua. Melihat nyala api sebesar itu orang-orang Comanche niscaya tidak akan berani pergi keluar." "O, saya mempunyai akal juga. Kami mempunyai beberapa buah usungan yang dapat kita pergunakan untuk mengangkut tahang-tahang itu." "Baik, akan tetapi jangan Anda lupa bahwa kita tidak boleh membuat bising dan tidak boleh meninggalkan jejak yang tampak terlalu jelas." "Jangan cemas! Saya dapat mempercayai anak buah saya. Lain daripada itu dapat pula saya membawa sumbu mesiu. Dapatkah itu Anda setujui?" "Ya. Akan tetapi dapatkah semuanya itu Anda siapkan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya?" Insinyur segera bertindak dengan tegas dan dalam waktu setengah jam semuanya sudah siap. Insinyur meninggalkan beberapa orang penjaga yang harus mengawasi kuda dan Mestis yang tertawan di dalam sumur. Kemudian bekal mereka dimasukkan ke dalam gerbong dan merekapun semuanya naik. Anak buah insinyur sangat beriang gembira karena mereka akan mendapat kesempatan mengalami sesuatu petualangan yang istimewa. Tempat di mana kereta api berhenti cukup jauh letaknya dari perkemahan Firewood, sehingga mustahillah orang-orang di sana akan melihat kereta api itu. Lagi pula lokomotif berhenti tepat pada suatu tikungan yang tertutup oleh sebuah tanah batu, sehingga tidak kelihatan dari perkemahan. Dari tempat ini dengan mudah sekali orang dapat mendaki sampai ke pinggir lembah, apalagi hari masih siang. Lebih sukar daripada itu ialah cara bagaimana mereka harus mengangkut tahang-tahang minyak tanah yang dibawa oleh insinyur. Mereka tak boleh dilihat orang dan tidak boleh meninggalkan jejak; lagi pula bau minyak tanah itu tidak boleh tercium oleh orang-orang Indian nanti. Winnetou segera menawarkan jasanya. Jikalau dia yang akan memimpin pekerjaan itu maka orang-orang yang lain boleh percaya bahwa segala-galanya akan berjalan dengan beres. Maka tugas Old Shatterhand ialah memimpin orang-orang yang lain mendaki lereng bukit sampai ke pinggir lembah. Di atas bukit itu terdapat pohon-pohonan yang agak lebat, sehingga tiada sukarlah bagi mereka untuk mencari tempat bersembunyi. Dengan rasa puas Old Shatterhand melihat bahwa dinding lembah itu benar-benar terjal sekali. Apabila orang-orang Comanche nanti sudah masuk, maka tak mungkin mereka dapat meloloskan diri. Old Shatterhand segera membagi-bagi orangnya serta menetapkan tempat penjagaan mereka masing-masing. Lain daripada itu dipesankannya agar mereka bersikap tenang dan hati-hati, serta diberitahukannya kepada mereka pelbagai tanda dan isyarat yang perlu diketahui oleh orang-orang itu apabila dalam gelap-gulita mereka harus menjalankan sesuatu. Sesudah itu Old Shatterhand turun kembali, lalu berjalan ke arah pintu masuk ke lembah di mana ia menjumpai Winnetou. Maka ia berkata: "Saudara saya orang kulit merah berbaring dengan tenang sekali di sini. Rupa-rupanya sudah selesai ia melakukan tugasnya." "Ya, tugas saya sudah selesai," jawab ketua suku Apache. "Orang-orang anak buah insinyur yang saya bawa adalah orang yang cakap. Tahang-tahang minyak sudah kami sembunyikan tidak jauh dari tempat ini. Saudara saya orang kulit putih harus memasang matanya baik-baik untuk dapat melihatnya." "Di mana insinyur?" tanya Old Shatterhand. "Di dalam semak-belukar di belakang ini, bersama-sama dengan para pengangkut tahang. Jikalau selama saya tidak ada Anda hendak memberi perintah kepadanya, maka dengan mudah sekali Anda dapat menemukan tempat persembunyiannya." "Anda hendak pergi?" "Ya, saudara saya tentu dapat menduga ke mana saya akan pergi." "Tentu hendak menyongsong orang-orang Comanche, agar dapat memberitahukan nanti apabila mereka datang." "Ya! Mereka tentu akan datang dengan hati-hati sekali; jadi perlu kita mengetahui kedatangannya sedang mereka masih jauh." "Itu benar, lebih-lebih oleh karena ketua sukunya nanti hendak pergi menyelidik seorang diri ke perkemahan. Ia akan menjadi sasaran kita yang pertama." "Winnetou ada membawa tali pengikat dari Rocky Ground. Kini saya akan pergi, sebab sebentar lagi hari akan gelap. Old Shatterhand hendaknya menunggu kedatangan saya di sini." Sebentar kemudian Winnetou sudah menghilang di antara pohon-pohonan. Maka kini Old Shatterhand berbaring; tak ada lagi yang dapat dikerjakannya daripada menunggu dengan tenang. Sekeliling tempat itu sunyi senyap; hanya dari perkemahan kadang-kadang ada kedengaran bunyi orang bekerja. Hari sudah mulai senja; sekitar pintu masuk ke lembah itu sudah mulai gelap dan hanya mata Old Shatterhand yang terlatih itu dapat membeda-bedakan benda-benda sekelilingnya. Kini dapat diharapkan orang-orang Comanche akan datang; tentu mereka menunggu hari gelap untuk mendekati Gua Birik. Dengan demikian maka mereka tidak akan dilihat oleh seorang penghuni perkemahan yang secara kebetulan boleh jadi berkeliaran di dekat gua itu. Akhirnya hari menjadi sedemikian gelapnya sehingga Old Shatterhand hanya dapat melihat beberapa langkah saja jauhnya. Akan tetapi daya pendengarnya dapat menggantikan daya penglihatannya. Tiba-tiba ia mendengar bunyi daun dikuak orang. Beribu-ribu orang tidak akan dapat mendengarnya, akan tetapi bunyi itu tidak luput daripada penangkapan telinga Old Shatterhand. "Nah, itu Winnetou datang," katanya pada diri sendiri. Betul! Ketua suku Apache dengan perlahan-lahan merangkak ke luar dari semak-belukar seraya berkata dengan berbisik: "Mereka datang." "Di mana kuda mereka ditinggalkan?" "Dibawanya ke mari." "Semberono sekali! Apabila kuda meringkik atau mendengus, tentu bunyi itu dapat didengar orang dengan jelas dalam keadaan sesunyi ini. Saya heran, mengapa mereka tidak meninggalkan kudanya di luar." "Orang-orang Comanche itu menyebut dirinya prajurit, tetapi sesungguhnya mereka masih kanak-kanak. Anak-anak kita sudah mengerti bahwa membawa sekian banyak kuda ke dalam lembah yang sempit ini adalah perbuatan yang sia-sia." "Tetapi bagi kita menguntungkan sekali, sebab kuda mereka akan menambah kegemparan yang akan kita timbulkan. Dengarlah! Itu sudah ada kuda mendengus." Kemudian kedengaran dengan jelas kedatangan mereka; depak kuda bergema. Sesudah itu kelihatan pula orang-orang Comanche yang pertama. Mereka berjalan secara Indian, yaitu berurutan yang seorang di belakang yang lain. Sampai ke pintu masuk lembah, mereka berhenti. Beberapa orang masuk ke dalam lembah untuk menyelidiki adakah tempat itu aman. Tidak lama sesudah itu kedengaran beberapa orang memberi perintah dengan perlahan-lahan. Maka seluruh pasukan itu masuklah ke dalam lembah. Mereka berjalan perlahan-lahan sekali, sehingga baru seperempat jam kemudian prajurit Comanche yang paling belakang melalui pintu masuk. Segera Old Shatterhand dan Winnetou keluar dari persembunyiannya, lalu merangkak ke pinggir lembah untuk mengintai. Belum ada lima menit mereka berbaring di sana, maka mereka mendengar bunyi langkah beberapa orang. Dengan segera mereka kembali ke tempat persembunyiannya. Maka tampaklah tiga orang keluar dari lembah; seorang dari mereka ialah Tokvi Kava, ketua suku Comanche, yang kini memberi perintah kepada kedua orang pengikutnya: "Kamu tinggal di sini untuk menjaga tempat masuk ini. Setiap orang yang berani mendekat, hendaknya segera kamu tikam. Prajurit-prajurit kita harus membuat beberapa buah api unggun; walaupun api itu kecil sekali nyalanya, namun ada pula kemungkinan bahwa cahayanya kelihatan dari jauh. Saat untuk menyerang belum lagi tiba, sebab orang-orang kulit putih masih belum lagi berkumpul untuk minum air-api. Sungguhpun begitu saya akan segera pergi mengintai mereka. Apabila lama sekali saya tidak kembali, jangan hendaknya kamu merasa cemas, sebab saya tidak akan balik sebelum tiba saatnya untuk menyergap mereka. Howgh!" Sesudah itu maka ia pergi dengan sangat hati-hati. Tentu saja ia tidak mengira bahwa gerak-geriknya diamat-amati orang. Sedikitpun tidak terpikir olehnya bahwa Winnetou dan Old Shatterhand ada di dekatnya. Inilah kesempatan yang baik sekali bagi Winnetou dan Old Shatterhand untuk segera bertindak. Hari sedemikian gelapnya sehingga mereka hanya dapat melihat paling banyak lima langkah jauhnya. Mereka harus mengikuti Tokvi Kava dari belakang, tetapi tidak boleh terlalu jauh. Dalam pada itu mereka tidak boleh pula membuat bunyi sedikitpun. Apabila Tokvi Kava berhenti, maka merekapun berhenti juga serta membungkukkan badannya. Jika orang Comanche itu berjalan lagi, maka mereka harus segera mengikutinya. Cekatan sekali mereka berdua mengikuti lawannya; tidak ada bunyi sama sekali kedengaran. Demikian mereka berjalan terus sampai akhirnya tiba pada suatu tempat, dari mana mereka tidak akan dapat didengar oleh kedua orang penjaga tadi. Sementara itu mereka sudah dekat pada perkemahan; mereka dapat melihat cahaya api yang memancar dari barak kantin. Kini tibalah saatnya untuk melaksanakan rencananya. "Ayo!" bisik Old Shatterhand kepada Winnetou. "Uf!" jawab ketua suku Apache dengan berbisik juga. Kemudian bersama-sama mereka melompat dua langkah. Tokvi Kava mendengar bunyi langkah mereka, lalu menoleh, akan tetapi pada saat itu juga tinju Old Shatterhand sudah mengenai pelipisnya sehingga ia rebah sebagai mayat. Dengan segera Winnetou berlutut di sebelahnya untuk menyumbat mulut Tokvi Kava serta mengikat tangan dan kakinya. "Nah, ketua sukunya sudah kita kuasai. Sebentar lagi seluruh anak buahnya tentu akan jatuh ke tangan kita juga. Biarlah ini saya dukung." Maka diangkatnya ketua suku Comanche yang pingsan itu, lalu dibawanya kembali ke arah lembah. Tentu saja mereka tidak menuju ke pintu masuk lembah, melainkan agak membelok ke kiri, ke arah semak-belukar di mana insinyur dengan dua orang pengikutnya bersembunyi. Betul insinyur itu orang yang cerdik dan bersikap hati-hati, akan tetapi ia bukan seorang pemburu prairi; jadi mungkin juga ia akan memekik atau berseru apabila dengan tiba-tiba melihat orang di dekatnya. Oleh sebab itu maka Old Shatterhand dengan berbisik-bisik berseru: "Diam! Kita yang datang. Jangan Anda membuat bunyi atau suara, Mr. Swan!" "O, andakah itu, Mr. Shatterhand? Siapa yang Anda dukung itu?" "Mustang Hitam," jawab Old Shatterhand sambil menurunkan bebannya. "Ketua suku Comanche? Thunderstorm! Hanya Old Shatterhand dan Winnetou saja dapat melakukan perbuatan sejantan itu! He, ia tidak bergerak. Sudah matikah ia?" "Tidak, barangkali tinju saya terlalu keras jatuh ke atas kepalanya; ia sudah pingsan." "Ah, tinju Anda yang masyhur, Sir! Akan kita apakan ketua suku ini?" "Kita baringkan di tanah dan kita ikatkan pada pohon itu." "Akan tetapi jika ia sadar kembali, niscaya ia akan berteriak!" "Tidak mungkin, sebab mulutnya sudah disumbat dengan rumput. Ikatlah dia erat-erat dan jagalah baik-baik. Kami harus pergi lagi." "Ke mana?" "Mengambil dua orang kulit merah lagi yang kini sedang menjaga pintu masuk ke lembah." Winnetou dan Old Shatterhand merebahkan diri lalu cepat-cepat merangkak ke tempat di mana kedua orang penjaga ditinggalkan oleh Mustang Hitam. Kedua orang Comanche itu sedang bercakap-cakap. Percakapan mereka sama sekali tidak penting. Karena itu maka Old Shatterhand dan Winnetou tidak hendak membuang-buang waktu mendengarkan percakapan mereka, melainkan dengan segera kedua orang penjaga itu disergapnya dan dengan cepat sekali mereka berdua sudah tersumbat mulutnya dan terikat kaki-tangannya. Ketika mereka kembali ke tempat insinyur dengan membawa dua orang tawanan itu, maka insinyur berkata: "Sudah selesai Anda? Maafkanlah saya, Sir, tetapi saya ingin bertanya adakah maksud Anda hendak berangsur-angsur menawan orang-orang Comanche itu secara ini?" "Tidak," jawab Old Shatterhand. "Prajurit-prajurit Comanche itu kini akan kita tangkap sekaligus." "Sudah tibakah saatnya untuk itu?" "Ya." "Alhamdulillah! Saya bukan seorang pemburu prairi dan karena itu tidak biasa berbaring di rumput terlalu lama. Katakanlah apa yang sekarang harus saya kerjakan." "Suruh bawalah sekarang tahang minyak tanah ke pintu masuk lembah serta nyalakanlah dengan segera agar orang-orang Comanche dapat mengetahui bahwa mereka telah terjebak." "Itu akan segera kami kerjakan, setelah kedua orang Indian ini kami ikat erat-erat." Sesudah itu maka bersama-sama dengan pengikutnya insinyur menggulung-gulungkan tahang minyak ke arah pintu masuk. Tahang itu segera ditegakkan dan dengan sebuah paku yang dibawanya insinyur membuat lubang pada tutup sebelah atas. Maka dimasukkannyalah ke dalam lubang itu tali sumbu yang berisi mesiu dan dari jarak yang agak jauh sumbu itu dinyalakan. Beberapa saat kemudian kedengaranlah bunyi letusan; tutup tahang minyak itu pecah, isinya mengalir ke tanah serta menyala menjadi sebuah api yang besar sekali. Nyala api itu mengisi seluruh pintu masuk ke lembah dan berkat cahaya api itu maka seluruh isi lembah kelihatan dengan jelas sekali. Pembaca niscaya dapat membayangkan betapa terkejutnya orang-orang Comanche mendengar bunyi letusan yang hebat tadi. Mereka segera bangkit, berlari-larian kian ke mari serta meraung-raung. Mereka tidak mengerti apa arti nyala api yang besar itu. Kemudian mereka berlari-lari ke arah api, sebab mereka tahu bahwa di sanalah letak tempat satu-satunya dari mana mereka dapat meninggalkan lembah. Dalam pada itu Old Shatterhand melepaskan beberapa tembakan, akan tetapi dengan sengaja tidak diarahkan kepada orang. Dengan demikian maka tahulah orang-orang Comanche sekarang bahwa mereka sudah terkepung. Betapa kecewanya, demi mereka melihat bahwa seluruh pintu masuk itu telah tertutup oleh api. Maka kini orang-orang Indian itu berlari-lari kembali ke sebelah belakang lembah dan dari sana mereka melihat ke atas. Apa yang dilihatnya menambah kegemparan mereka, sebab Old Shatterhand telah memberi perintah kepada orang-orangnya supaya menyalakan suluh, segera setelah tahang minyak tanah dinyalakan. Perintah itu kini sudah dipenuhi. Orang-orang Indian melihat di atasnya api menyala-nyala pada segala pihak. Dalam pada itu orang-orang kulit putih berseru-seru dari atas: "Horee! Horee! Kembang api kita sudah terpasang!" Di antara sorak-sorai yang bersimpang-siur itu kedengaran suara Hobble-Frank. "Hai, Droll! Di mana engkau? Ayo, engkau harus membuat bising agar kuda di bawah itu menjadi gempar. Makin bingung mereka makin baik. Barangkali bedebah-bedebah itu akan mati semuanya diinjak-injak oleh kudanya. Sayang kita tidak boleh menembak, akan tetapi kita masih dapat melempari mereka dengan batu. Ayo marilah kita mulai!" Untung sekali bagi orang-orang Comanche, tanah batu-batuan itu keras sekali. Sekiranya di sana ada bongkah-bongkah tanah atau batu, niscaya celaka sekali nasib mereka. Walaupun begitu di sana-sini masih ada juga satu-dua buah batu yang dilemparkan oleh orang-orang kulit putih ke arah orang-orang Indian. Benar, kuda mereka menjadi bingung, lalu berlari-larian kian ke mari, menambah kegemparan yang sudah hebat itu. III. TOKVI KAVA MATI KUTUNYA Sejak tahang minyak dinyalakan, kira-kira sudah ada lima menit lewat; kuda orang-orang Indian sudah menjadi takut sekali dan keadaan di lembah sudah menjadi kacau balau. Kegaduhan mereka terdengar juga oleh para penghuni perkemahan Firewood, yang tiada dapat memahami arti huru-hara dalam gelap-gulita malam itu. Mereka berlari-lari pergi ke Gua Birik. Mr. Leveret, insinyur mereka datang lebih dahulu. Betapa tercengangnya ketika ia melihat Old Shatterhand dan Winnetou dan rekannya dari setasiun Rocky Ground. "He, tuan-tuan, Anda ada di sini?" tanyanya dengan gugup. "Api apa yang sedang berkobar-kobar dengan nyala yang sebesar itu! Apakah artinya?" "Artinya ialah bahwa kami hendak membuat satai dari daging orang-orang kulit merah, Mr. Leveret," jawab Swan. "Orang-orang kulit merah yang mana, Sir." "Orang-orang Comanche yang hendak menyerang dan membunuh Anda semuanya?" "Astaga! Serangan itu akan dilakukannya hari ini juga?" "Ya, hari ini juga. Akan tetapi kini mereka sudah terjebak di dalam lembah dan sudah terkepung oleh pekerja-pekerja saya. Karena api itu mereka tidak dapat lolos." "Bagaimana mereka sampai turun ke dalam lembah dan bagaimana Anda beserta anak buah Anda sampai datang ke mari, Mr. Swan?" "Itu mudah sekali. Orang-orang Comanche itu datang ke mari dengan berkuda dan kami datang dengan kereta api istimewa." "Dan saya... saya... tidak Anda beritahu!" kata Mr. Leveret dengan gugup. "Mengapa Anda tidak memberi kabar?" "Karena tidak sempat." "Bukankah Anda dapat mengetuk kawat?" "Itu tidak saya lakukan oleh karena saya mengira bahwa tanpa bantuan Anda dapat juga kami menggagalkan rencana orang-orang Comanche. Lagi pula kami harus memburu waktu." "Ya, itu dapat saya pahami, Sir! Tetapi saya kira kini Anda memerlukan pertolongan kami." "Tidak, jumlah kami sudah cukup. Apabila Anda hendak menyaksikan penyelesaian urusan ini, maka Anda boleh tinggal di sini dengan tenang, akan tetapi jagalah jangan Anda mengacau usaha kami." "Jangan khawatir. Jikalau Anda sudah dapat menjebak orang-orang kulit merah ini di dalam perangkap yang tertutup rapat-rapat itu, maka saya tidak hendak menyaingi Anda untuk menjadi masyhur." "O, kehormatan bukanlah ada pada pihak saya, melainkan pada Winnetou dan Old Shatterhand. Jikalau Anda hendak ikut pula memperoleh kehormatan, artinya hendak ikut berkelahi, maka hendaknya Anda berhubungan dengan mereka berdua." "Terimakasih! Saya seorang insinyur, bukan seorang pemburu atau seorang pembunuh Indian. Apa gunanya saya akan membunuh orang, walaupun orang kulit merah, kalau mereka hingga kini tidak berbuat jahat terhadap saya. Hanya belum hilang terkejut saya!" "Jangan Anda lupa bahwa sebenarnya Anda yang menjadi sasaran orang-orang Comanche itu. Jadi sesungguhnya Anda harus ikut berkelahi juga." "Ya, sesungguhnya begitu. Dan saya bersedia memberikan bantuan saya sekiranya diperlukan. Akan tetapi oleh karena tuan-tuan yang terkenal kejantanannya itu ada di sini, apalagi dibantu oleh para pekerja Anda, maka saya kira bantuan kami tidak diperlukan. Tetapi saya akan berunding juga dengan anak buah saya; barangsiapa ingin ikut berkelahi, akan saya beri izin, akan tetapi saya sendiri tidak akan mencampuri urusan ini." "Sebenarnya kami tidak memerlukan bantuan anak buah Anda dan pekerja-pekerja Anda orang kulit kuning sama sekali tidak perlu datang ke mari." "Baik, Sir. Mereka akan segera saya beritahu dan akan saya beri perintah agar jangan mengganggu Anda." Sebenarnya Mr. Leveret bergirang hati sekali bahwa ia tidak diperlukan. Kemarin asyik sekali ia mendengarkan kisah-kisah pengalaman Old Shatterhand dan Winnetou, sehingga orang dapat menduga bahwa ia orang yang berani juga, akan tetapi kini justru kebalikannya yang terbukti. Memang dalam kehidupan sehari-hari acapkali kita jumpai orang yang gemar sekali mendengarkan ceritera-ceritera pahlawan, akan tetapi ia sendiri sama sekali tidak mempunyai sifat-sifat kejantanan. Mr. Swan memandang rekannya dengan sikap acuh tak acuh, lalu berbisik ke telinga Old Shatterhand: "Nah, tepat seperti yang saya katakan kemarin. Rekan saya itu bukan seorang pahlawan. Orang-orang seperti dia hendaknya kita jauhkan sejauh-jauhnya, apabila kita menghadapi bahaya. He, apa itu?" Mr. Swan melihat orang-orang Tionghoa datang berduyun-duyun dari pihak perkemahan. Mereka berteriak-teriak dan berlari-lari ke arah lembah. Dalam pada itu mereka memotong ranting pohon serta memungut batu. Rupa-rupanya mereka hendak menyerang orang-orang Indian. Untung Old Shatterhand mengerti bahasa Tionghoa dan segera memahami maksud mereka. Orang-orang Tionghoa itu menjadi marah sekali demi mereka mendengar bahwa orang-orang Comanche hari ini hendak menyerang mereka dan hendak mengambil scalpnya. Sekiranya mereka harus berhadapan dengan musuh secara terbuka, maka niscaya mereka akan lari cerai-berai. Akan tetapi oleh karena musuh itu tidak berdaya, maka mereka menjadi berani dan hendak menyerang dari tempat jauh. Demi Old Shatterhand melihat bahaya yang mengancam orang-orang kulit merah itu, maka segera ia berbisik kepada Winnetou: "Saudara saya hendaknya lekas-lekas mengikuti saya." "Orang-orang kulit kuning ini tentu akan segera lari, demi mereka kita hadapi," jawab Winnetou yang segera memahami arti kata-kata sahabatnya. Old Shatterhand dan Winnetou segera mendaki dinding lembah dan dalam sekejap mata saja mereka sudah dapat menyusul orang-orang Tionghoa itu. Insinyur Swan dan anak buahnya tinggal di bawah, di dekat tahang minyak yang sedang menyala. Ia berkata kepada anak buahnya: "Orang-orang kulit kuning hendak menyerang orang-orang kulit merah dan kedua orang pemburu ini hendak menggagalkan maksud mereka." "Mana boleh, dua orang melawan gerombolan yang sekian banyak jumlahnya," sahut salah seorang pekerja. "Orang-orang Tionghoa itu jumlahnya kira-kira enampuluh orang." "Anda tahu bahwa Old Shatterhand tidak pernah menghitung jumlah lawannya. Satu atau enampuluh orang, bagi dia sama saja dan orang-orang itu pasti akan menjadi takut melihat seorang yang gagah berani bertindak. Lihatlah, saksikan sendiri benar atau tidak pendapat saya." Orang-orang Comanche dengan tiba-tiba berdiam diri. Dengan tercengang-cengang mereka melihat peristiwa yang sedang berlangsung di pinggir lembah. Dengan suara yang keras sekali Old Shatterhand memberi perintah dalam bahasa Tionghoa agar orang-orang kulit kuning itu mundur, akan tetapi tidak seorangpun mau mendengar. Ia mengulang perintahnya; tidak berhasil juga. Maka Winnetou dan Old Shatterhand segera mencabut pistolnya. Melihat itu orang-orang Tionghoa berhenti, akan tetapi tidak lama, sebab mereka yang ada di depan terdorong maju oleh mereka yang ada di belakang. Situasi itu sangat membahayakan. Winnetou dan Old Shatterhand insaf bahwa pistol mereka tidak akan berguna. Maka senjata itu dimasukkannya kembali dan kini mereka menyerbu kelompok orang-orang kulit kuning. Apa yang kini terjadi tiada dapat dilihat orang dengan jelas. Orang mendengar orang-orang Tionghoa berseru-seru dan berteriak-teriak serta bergerak kian-ke mari. Ada yang jatuh terpelanting, ada yang rebah, ada yang terlemparkan ke udara, ada yang meraung-raung, pendek kata keadaan di tempat itu menjadi kacau-balau. Akhirnya orang-orang Tionghoa itu mundur serta lari cerai-berai. Setelah keadaan menjadi tenang kembali, maka kelihatan beberapa orang kulit kuning terbaring di tanah sambil mengeluh dan mengerang dan hanya Winnetou dan Old Shatterhand saja berdiri tegak. Orang-orang yang menyaksikan peristiwa tadi, kini berseru-seru: "Bagus, bagus! Hidup Winnetou! Hidup Old Shatterhand!" Mr. Swan dan beberapa orang kulit putih berlari-lari mendapatkan kedua orang pemburu itu untuk memberi selamat dan memuji-muji perbuatan mereka. Akan tetapi dengan tenang saja Old Shatterhand menyela: "Sudah, orang-orang kulit merah kini terlepas daripada bahaya besar. Bahaya dari pihak orang-orang kulit kuning itu sudah dapat kami elakkan, akan tetapi kini datang bahaya yang lain, yakni dari pihak orang-orang kulit putih. Lihatlah mereka mulai melempar-lemparkan batu ke bawah. Itu tidak kita perkenankan." "Tetapi, Mr. Shatterhand, orang-orang Comanche ini adalah penjahat dan pembunuh. Akan menjadi jengkelkah Anda apabila ada beberapa orang kena lempar batu?" "Bukan itu soalnya. Setiap penjahat harus diperlakukan sebagai manusia, sebelum ia diadili. Barangsiapa menganiaya seorang tawanan, maka ia menunjukkan perangai yang rendah. Itu tidak boleh kita biarkan, Mr. Swan, suruhlah beberapa orang anak buah Anda naik ke atas untuk memberitahukan bahwa kita tidak boleh melempari musuh kita. Setiap orang hendaknya harus tenang dan tidak boleh mengadakan serangan sebelum saya beri perintah." "Tetapi maukah orang-orang kulit merah itu bersikap tenang juga?" "Mereka tidak akan berani berbuat sesuatu sebelum hari siang, apalagi oleh karena ketua sukunya sudah ada di tangan kita." "Akan tetapi itu tidak diketahuinya." "Mereka akan segera mengetahuinya. Kedua orang penjaga yang sudah kita tawan itu akan saya lepaskan dan saya suruh turun ke lembah. Lagi pula sudah tibalah waktunya untuk berbicara dengan Mustang Hitam. Suruhlah orang membawa tawanan itu ke mari. Tempat ini lebih terang daripada tempat di mana tawanan-tawanan kita terikat." "Jadi tawanan-tawanan itu akan kita lepaskan sama sekali dari ikatannya?" "Tidak, hanya ikatan mereka pada pohon saja yang harus dilepaskan. Jangan Anda menyebut-nyebut nama kita. Baringkan mereka di dekat api, sehingga muka mereka tampak dengan jelas. Saya ingin mengetahui bagaimana reaksinya apabila mereka nanti mengenali kami." "Bolehkah saya menjawab apabila mereka bertanya?" "Ya, akan tetapi hanya mengenai hal-hal yang umum saja. Kami akan mengundurkan diri sehingga mereka tidak akan melihat kami. Dengan demikian kami dapat mendengarkan percakapan Anda dengan mereka." Insinyur pergi ke semak-belukar dan Old Shatterhand dan Winnetou menyingkir ke tempat yang gelap. Tidak lama kemudian para tawanan itu sudah diangkat ke dekat api. Kini insinyur berlutut di hadapan para tawanan, lalu memandangi mereka seorang demi seorang. Akan tetapi orang-orang kulit merah itu berdiam diri saja. Mustang Hitam jengkel sekali melihat perbuatan Mr. Swan. Sebenarnya, menurut adat orang Indian, ia harus berdiam-diri terus, akan tetapi demi ia melihat bahwa ia dipandangi insinyur itu dengan pandang yang menunjukkan ejekan, maka ia menjadi marah, sehingga ia lupa akan harga dirinya, lalu berseru dengan suara yang keras: "Mengapa engkau memandangi saya? Engkau tak dapat berbicara? Engkau takut membuka mulutmu?" "Takut kepadamu?" jawab insinyur dengan tertawa. "Rupamu sama sekali tidak menakutkan!" "Gegabah benar engkau! Akan tetapi engkau akan menjadi takut sekali demi engkau tahu siapa saya!" "Saya tahu siapa engkau; engkau seorang pencuri, seorang pembunuh yang selayaknya harus digantung pada pohon yang tinggi." "Engkau tidak menyadari perkataanmu. Di seluruh daerah Barat ini tidak ada seorangpun yang berani menyentuh saya." "Pshaw! Penjahat seperti engkau in menurut undang-undang prairi harus dihukum mati." "Diam. Saya Tokvi Kava, ketua suku Comanche Naiini." "Boleh jadi, akan tetapi bagi saya sedikitpun tidak berarti; jikalau benar setinggi itu kedudukanmu, maka kami akan memilih pohon yang paling tinggi untuk menggantungmu." "Engkau berbicara begitu karena takut atau karena gila. Jika engkau hendak menggantung orang, maka orang itu harus kautawan dahulu." "Bukankah engkau tawanan kami?" "Ya, sekarang! Akan tetapi sebentar lagi engkau terpaksa melepaskan saya lagi." "Sebab apa?" "Sebab engkau tidak mempunyai alasan sama sekali untuk menangkap dan menawan saya." "Itu salah. Alasan kami lebih daripada cukup." "Katakanlah apa alasan-alasan itu! Akan saya buktikan bahwa alasan-alasan itu serba salah. Lain daripada itu, sekiranya engkau mempunyai alasan yang kuat juga, maka engkau akan terpaksa membebaskan saya, sebab prajurit-prajurit saya akan datang ke mari dan akan menghukum kamu sekalian. Jikalau aku tak segera kaubebaskan, maka perkemahan Firewood itu akan kami bakar sampai menjadi abu dan penghuninya akan kami bunuh semuanya dan jalan kereta api yang kaubuat itu akan kami cabut. Tahukah engkau sekarang bahwa sesungguhnya kamu semuanya ada di dalam kekuasaan saya. Jangan kamu mengharapkan ampun apabila saya tidak kaubebaskan dengan segera." "Rupa-rupanya engkau ingin ditertawakan orang. Siapa yang kau andalkan? Kedua orang prajurit yang terikat ini? Anda berani mengancam saya, padahal engkau sudah menjadi ular yang kehilangan giginya yang berbisa. Engkau tidak akan saya bebaskan. Dan sekiranya saya mau, saya tidak akan diizinkan berbuat begitu." "Mengapa tidak?" "Oleh karena di sini ada dua orang prajurit yang paling masyhur, yang tidak akan mengizinkannya." "Siapakah prajurit-prajurit itu?" "Old Shatterhand dan Winnetou." Kini ketua suku itu tertawa gelak-gelak. Kemudian ia berkata: "Sekarang saya tahu dengan pasti bahwa engkau berbicara begitu karena takut belaka. Engkau menyebut nama kedua orang pemburu itu hanya untuk mempertakuti saya saja. Saya tahu bahwa kedua orang pemburu itu tidak mungkin ada di sini." "Engkau tidak tahu apa-apa." "Saya tahu dan saya dapat membuktikannya. Kedua orang pemburu itu kemarin malam sudah lari dari sini, karena mereka takut akan saya." "Bodoh benar engkau! Mereka akan takut kepadamu? Di benua ini tidak ada seorangpun yang ditakuti oleh Old Shatterhand dan Winnetou." "Tetapi mengapa mereka tergesa-gesa sekali meninggalkan perkemahan Firewood?" "Adakah engkau benar-benar yakin bahwa mereka tidak ada di sini." "Mereka tidak ada di sini. Itu sudah saya katakan. Tokvi Kava selalu mengetahui benar apa yang dikatakannya. Old Shatterhand dan Winnetou takut kepada saya dan sudah lari dengan menumpang kereta api. Howgh!" Sekonyong-konyong kedengaran suara Old Shatterhand dari sebelah belakang Tokvi Kava: "Howgh! Kata itu berlaku sebagai sumpah bagi seorang prajurit kulit merah. Ketika Tokvi Kava mengucapkannya, ia sudah berdusta. Sejak saat ini ia saya pandang sebagai seorang pembohong." Ketika ia mengucapkan kata-kata itu, maka ia pergi mendekati Tokvi Kava. "Uf! Uf!" seru ketua suku itu dengan terkejut. "Itu Old Shatterhand!" "Ya, itu betul. Dan siapakah yang berdiri di samping saya ini?" Sementara itu Winnetou sudah berdiri di sebelahnya. Demi Mustang Hitam melihat Winnetou, maka ia berseru pula: "Winnetou, ketua suku Apache! Bagaimana Anda berdua datang ke mari!" Old Shatterhand mengangguk-angguk dengan ramah-tamah, lalu menjawab: "Engkau tentu akan senang sekali mendengar bahwa kami datang dari tempat yang baru saja kautinggalkan, yaitu dari Alder-spring." "Saya tidak mengunjungi Alder-spring!" "Betul, akan tetapi ada di dekatnya, yaitu di kaki-gunung Corner Top untuk menyambut kedatangan kami di Alder-spring." Mendengar itu ketua suku Comanche terkejut sekali. Hanya dengan susah payah ia dapat menguasai dirinya kembali, lalu berseru: "Itu tidak benar! Saya tidak pergi ke Corner Top dan saya tidak bermaksud hendak menangkap Anda. Siapa dapat membuktikan bahwa saya hendak menyerang Anda! Di antara orang-orang kulit putih tidak ada seorang yang sejujur dan seadil Old Shatterhand. Saya yakin bahwa ia akan bersikap jujur dan adil pula terhadap saya." "Itu benar. Saya selalu berikhtiar bertindak adil terhadap saudara-saudara saya orang kulit putih dan orang kulit merah. Akan tetapi celaka sekali bagi Anda apabila Anda mengharapkan keadilan dari saya." "Saya menuntut keadilan itu!" "Jangan. Jikalau Anda tidak menghendaki kecelakaan, lebih baik Anda minta ampun daripada minta keadilan!" "Minta ampun? Uf! Tokvi Kava belum pernah minta ampun dan sekali ini iapun tidak akan berbuat begitu. Saya tidak ada berbuat apa-apa terhadap Anda. Awaslah! Jikalau saya mau memberi satu tanda saja, maka prajurit-prajurit saya akan segera datang ke mari dan akan menunjukkan Anda jalan ke padang perburuan abadi!" "Tolol! Sebenarnya saya harus menaruh belas kasihan kepadamu! Berilah tanda itu." "Uf! Saya tidak dapat, karena tangan saya terikat." "O, Anda tidak dapat? Anda jangan salah sangka; bahkan sekiranya Anda dapat memberi tanda itu, maka tidak seorangpun akan datang ke mari; prajurit-prajurit Anda tidak dapat bergerak, sebab mereka semuanya sudah tertawan juga" "Uf! Itu bohong!" "Bohong? Jangan Anda menyakiti hati saya! Sekali lagi Anda berbuat begitu, maka Anda akan saya pukuli habis-habis. Old Shatterhand dan Winnetou tidak pernah berbohong. Camkanlah itu! Ketika kami mendengar bahwa Anda hendak menangkap kami, maka kami harus tertawa karena kebodohan sebesar itu. Memang, Anda sudah bodoh sekali dengan membawa pasukan Anda ke Gua Birik. Pasukan Anda sudah terjebak. Satu-satunya tempat ke luar sudah kami tutup." Kini ketua suku Comanche mulai menginsafi kedudukannya. Betul ia masih sangsi, akan tetapi mendengar kepastian yang diucapkan oleh Old Shatterhand itu, segera hilanglah kesangsiannya. Kini ia insaf bahwa ia merupakan pihak yang kalah, bahwa ia tidak berdaya lagi karena badannya terikat; ia melihat nyala api yang besar pada pintu masuk ke lembah, akan tetapi ia masih belum tahu bahwa sekeliling lembah itu telah dijaga oleh orang-orang kulit putih. Maka kini ia mencari akal bagaimana ia dapat melepaskan diri dari bencana. Asal pasukannya dapat mengundurkan diri dengan selamat, ia sudah merasa puas, biarpun ia tidak akan memperoleh jarahan. Ia sudah disebut bodoh; sebutan itu merupakan penghinaan bagi seorang Indian, penghinaan yang hanya dapat dihapuskan dengan darah. Marahnya tidak tertahan lagi. Baginya penghinaan itu lebih berat daripada nasib prajurit-prajuritnya. Maka ia berseru: "Anda berani menyebut Tokvi Kava bodoh! Sekiranya tangan saya tidak terikat, maka Anda akan saya binasakan, tepat seperti beruang membinasakan anjing yang menyalak. Dengan sekali tinju saja kepala Anda akan menjadi bubur!" "Pshaw! Jangan Anda berani membandingkan diri Anda dengan beruang. Ucapan itu sekali lagi menunjukkan kebodohan Anda, sehingga setiap orang yang mendengarnya akan tertawa." "Tutup mulutmu! Anda lupa dengan siapa Anda berbicara." "Saya menghendaki agar saya dibebaskan. Dapatkah Anda membuktikan kebenaran ucapan Anda?" "Sudah pernahkah Anda mendengar bahwa Old Shatterhand mengatakan sesuatu yang tidak dapat dipertanggung-jawabkannya?" "Katakanlah!" "Dengarlah, hai bedebah! Engkau harus mengubah sikapmu, jikalau engkau tidak menghendaki akan saya pukuli punggungmu. Engkau tidak boleh memberi perintah. Saya tak hendak memberi tanggungjawab kepadamu, sebaliknya, engkau yang harus memberi tanggungjawab kepada saya dan jikalau engkau tidak mau bersikap sopan, maka saya mempunyai cukup kekuasaan untuk memaksa engkau bersikap sopan-santun. Jangan engkau mengira bahwa engkau dapat menipu kami! Dusta tak akan dapat menolongmu. Lagi pula jikalau engkau membanggakan dirimu dengan tiap-tiap kali menyebut dirimu ketua suku Comanche Naiini, maka saya berharap bahwa engkau akan bersikap jantan pula dan akan merasa malu mengeluarkan kebodohan. Engkau datang ke mari untuk menyerang perkemahan Firewood, bukan?" "Tidak." "Engkau menyuruh cucumu Ik Senanda datang ke perkemahan untuk mempersiapkan seranganmu?" "Tidak." "Kemarin malam engkau ada di sini dan engkau sudah berbicara dengan cucumu?" "Tidak." Kata "tidak" itu diulang tiga kali dengan congkak, sehingga menimbulkan kemarahan insinyur Swan: "Kurang ajar sekali! Disangkanya kita ini kanak-kanak belaka! Ingin sekali saya memukuli kulitnya!" Old Shatterhand tidak mengindahkan perkataan insinyur itu, melainkan berkata terus: "Apa yang diucapkan oleh sahabat saya orang kulit putih ini benar belaka. Engkau menunjukkan sikapmu yang sangat pengecut itu dengan selalu berbohong saja. Sebagai seorang ketua suku seharusnya engkau mengaku dengan terus-terang saja sehingga saya dapat menghormati kedudukanmu." "Tokvi Kava tidak dapat mengakui apa-apa yang tidak diperbuatnya," jawab orang Comanche itu. "Jadi kemarin malam engkau tidak datang ke mari?" "Tidak." "Dan engkau tidak bercakap-cakap dengan dua orang Tionghoa?" "Tidak." "Dan engkau tidak merampas bedil-bedil kami?" "Tidak." "Dan engkau tidak mencuri kuda kami?" "Tidak." "Tetapi engkau tentu tidak akan mengingkari bahwa Ik Senanda adalah cucumu?" "Ya, saya kenal Senanda." "Di sini ia menyebut dirinya Yato Inda." "Kalau begitu itu orang lain, sebab cucu saya tiada pernah datang ke mari." "Di manakah ia sekarang?" "Di dusun kami." "Salah! Jadi engkau tidak tahu di mana ia sekarang?" "Ya, saya tahu. Ia ada di dusun kami." "Tidak. Ia kau tinggalkan seorang diri di kaki gunung Corner Top." Mendengar perkataan itu Mustang Hitam mengejapkan matanya, seakan-akan hendak menyembunyikan terkejutnya. Kemudian ia menjawab secara mengejek: "Rupa-rupanya Old Shatterhand sedang bermimpi, padahal ia tidak tidur." "Pshaw! Ik Senanda kautinggalkan di sana untuk menjaga bedil-bedil kami." "Uf! Uf!" jawab orang Comanche itu sambil mengeluh. "Mengakukah engkau sekarang?" "Tidak." "Tokvi Kava, engkau tak tahu malu. Engkau seorang pengecut yang tidak tahu harga diri. Engkau lebih penakut daripada seekor anjing yang lari melihat bayang-bayang seekor beruang. Jikalau engkau masih mempunyai akal sehat, maka semestinya engkau harus insaf bahwa kami sudah mengetahui segala-galanya. Kini akan saya tunjukkan kepadamu bahwa perjalananmu ke perkemahan Firewood bukan saja sia-sia belaka, melainkan akan mencelakakan kamu sekalian. Lihatlah ini! Itu tentu tidak kau-sangka-sangka!" Dalam pada itu Old Shatterhand sudah memungut bedilnya yang tadi diletakkannya di belakang kedua orang penjaga yang sudah tertawan. Winnetoupun memungut bedil peraknya juga. Karena sangat terkejut, maka ketua suku Comanche lupa bahwa kaki dan tangannya terikat. Ia memekik dan hendak bangkit. "Nah, kini rupa-rupanya engkau baru insaf," kata Old Shatterhand. "Bedil khasiat... bedil pembunuh beruang... dan... bedil perak," kata Tokvi Kava dengan gugup. "Di mana... di mana... di mana Ik Senanda cucu saya?" "Ia sudah kami tawan." "Anda... Anda tawan?" "Ya." "Di kaki gunung Corner Top?" "Ya." "Bagaimana... bagaimana Anda dapat menangkap dia di sana? Bagaimana... Anda datang ke sana?" "O, kami sudah ada di sana sebelum ia datang!" "Mustahil! Bukankah engkau pergi menumpang kereta api?" "Kasihan! Benar-benar sudah hilang otakmu! Orang seperti ini hendak menangkap saya dan Winnetou! Kemarin malam kami mendapatkan jejakmu. Tentu saja kami segera mengetahui apa maksudmu. Engkau sudah mencuri kuda kami dan sudah merampas bedil kami dari tangan orang-orang Tionghoa. Kuda itu sudah kembali atas usahanya sendiri, akan tetapi bedil kami harus kami ambil sendiri. Ya, kami pergi dengan kereta api. Oleh sebab itu maka kami lebih dahulu sampai ke Alder-spring daripada engkau." "Uf! Uf!" seru orang Comanche itu dengan tercengang. "Siapakah yang mengatakan kepada Anda bahwa saya hendak pergi ke Alder-spring?" "Pertanyaan yang bodoh lagi! Engkau kami pikat pergi ke sana." "Anda pikat? Dengan jalan bagaimana?" "Dengan perantaraan cucumu, seorang pengkhianat dan mata-mata. Ia sudah dapat kami tipu, sehingga ia menyangka bahwa kami sudah meninggalkan perkemahan Firewood untuk selama-lamanya. Itu dilaporkannya kepadamu dan engkau telah membawa pasukanmu ke Alder-spring untuk menangkap kami. Akan tetapi kami lebih dahulu datang ke sana daripadamu. Kami melihat segala yang terjadi di sana dan kami mendengar percakapanmu dengan cucumu, sebab pada saat itu Winnetou dan saya berbaring di belakang semak-semak yang hanya empat langkah saja jauhnya dari tempatmu." "Uf, uf, uf!" "Ya, uf, uf, uf! Itu saja yang dapat kau ucapkan. Biarlah saya teruskan kisah saya. Setelah engkau pergi untuk menyerang perkemahan Firewood, maka cucumu kami tangkap. Ia kami paksa mengembalikan bedil kami, lalu kami bawa pergi." "Di mana ia sekarang?" "Pada suatu tempat yang indah sekali. Di sana pula engkau nanti akan saya simpan." "Di mana?" "Itu belum boleh kauketahui. Masih hendak berbohong teruskah engkau?" Kini ketua suku Comanche itu termenung saja. Akhirnya ia berkata: "Tokvi Kava tidak kenal takut. Ia menyangkal bukan oleh karena ia takut." "Jadi kini engkau mengaku bahwa engkau telah mencuri milik kami." "Ya." "Engkau mengaku bahwa engkau hendak menyerang perkemahan Firewood?" "Ya." "Hendak kau apakan para penghuni perkemahan itu?" "Akan kami bunuh dan kami ambil scalpnya." "Semuanya?" "Ya, semuanya!" "Astaga!" seru insinyur. "Kami juga?" Bagi orang Comanche itu sama saja adakah ia akan membunuh beberapa orang lagi. Dengan congkak ia menjawab: "Saya belum pernah melihat Anda dan saya tidak tahu siapa Anda, akan tetapi sekiranya Anda ada di perkemahan Firewood maka akan kami ambil juga scalp Anda." "Terimakasih! Baik benar budimu! Mr. Shatterhand, katakanlah, apa yang hendak kita perbuat dengan orang kulit merah ini serta anak buahnya?" "Lebih dahulu ia akan kita beri kesempatan menginsafi kedudukannya dan kedudukan prajurit-prajuritnya," jawab Old Shatterhand. "Dengan jalan bagaimana?" "Ia akan kita bawa ke pinggir lembah, dari mana ia akan dapat melihat keadaan anak buahnya." "Sesudah itu?" "Sesudah itu ia akan menyuruh anak buahnya menyerah, itupun kalau ia tidak gila." "Hra! Bagaimana kalau orang-orang Comanche itu akan berusaha meloloskan diri sebelum ketua sukunya dapat menyampaikan perintahnya?" "Akan saya usahakan bahwa mereka tidak berbuat begitu." "Denganjalan bagaimana, Sir!" "Itu sudah saya katakan kepada Anda tadi!" Kini Old Shatterhand berpaling kepada kedua orang tawanan yang lain seraya berkata: "Anda mengerti bahasa orang kulit putih?" Ia harus mengulang pertanyaannya dua kali sebelum salah seorang tawanan menjawab: "Kami mengerti apa yang dipercakapkan tadi." "Nah, kalau begitu kamu berdua akan kami bebaskan dan akan pergi ke teman-temanmu di bawah untuk memberitahukan bahwa ketua sukumu telah kami tawan dan bahwa mereka akan kami tembak mati sekiranya mereka berani memberi perlawanan. Ketua sukumu akan saya bawa mendaki ke tepi lembah, agar ia dapat menyaksikan sendiri bahwa setiap perlawanan tidak ada gunanya sama sekali. Kemudian ia boleh memutuskan sendiri apa yang baik baginya dan bagi pasukannya: menyerah atau menceburkan diri ke dalam neraka. Jangan hendaknya Anda mencoba mengajak teman-teman Anda memberi perlawanan sebelum Anda mendengar keputusan ketua suku Anda." "Bagaimana kami akan dapat mengetahuinya? Jikalau kabar itu disampaikan oleh seorang kulit putih, maka kami tidak akan mau percaya." "Ketua suku Anda akan kami izinkan menyampaikannya sendiri. Ia boleh menyampaikan pesannya dari pinggir lembah, sehingga prajurit-prajuritnya akan mendengarnya semua. Dapatkah itu Anda setujui?" "Ya." "Kini ikatan Anda akan saya lepaskan. Tetapi jangan Anda mengira bahwa kini Anda mempunyai kesempatan untuk melarikan diri. Anda berdua hanya saya perkenankan turun ke dalam lembah. Bedil khasiat saya akan saya bidikkan kepada Anda. Barangsiapa membuat langkah yang salah, akan saya tembusi kepalanya dengan peluru ini." "Tetapi kami tidak akan dapat menerobosi api itu!" "Dapat juga! Nyala api itu di sebelah sini tidak berapa lebar, sehingga Anda dapat melintasinya tanpa ada bahaya untuk terbakar. Dengan sekali lompat saja Anda sudah sampai ke seberang." "Kami harus balik kembali dan akan diikat lagi?" "Tidak. Anda boleh tinggal di lembah. Katakanlah kepada teman-teman Anda apa yang sudah Anda dengar dan Anda lihat. Jikalau itu Anda lakukan, maka mereka akan insaf bahwa mereka tak dapat berbuat lain daripada menantikan keputusan ketua sukunya." IV. MUSTANG HITAM MENDAPAT MALU Kedua orang tawanan tadi dilepaskan dari ikatannya. Dalam pada itu Winnetou dan Old Shatterhand membidikkan bedilnya ke arah mereka sehingga tak mungkinlah mereka dapat meloloskan diri. Seorang dari tawanan itu mengambil ancang-ancang, lalu melompat di atas nyala api yang paling rendah; tawanan yang kedua segera menyusul. Kini Old Shatterhand menambah penjagaan di tempat itu dengan beberapa orang pekerja kereta api lagi. Pintu masuk ke dalam lembah itu harus terjaga kuat-kuat; sesudah itu maka Old Shatterhand melepaskan ikatan kaki ketua suku Comanche agar dapat ia diajak mendaki ke pinggir lembah. Ikatan tangannya tidak dilepaskan, sehingga kemungkinan untuk melarikan diri hanya kecil sekali. Tambahan lagi Winnetou dan Old Shatterhand mencabut pistolnya: ketua suku Comanche itu yakin bahwa setiap usaha untuk melarikan diri tentu harus ditebusnya dengan nyawanya. Insinyur Swan harus tinggal untuk memimpin penjagaan. Maka Old Shatterhand, Winnetou dan Tokvi Kava mendaki bukit, pergi ke tempat yang sudah direncanakan oleh Old Shatterhand. Tempat itu ialah pinggir lembah yang dijaga oleh Hobble-Frank dengan kawan-kawannya. Demi Frank melihat ketiga orang itu datang, maka segera ia berseru kegirangan: "Hore! Itu dia pemimpin bedebah-bedebah orang kulit merah! Bagaimana Anda dapat menangkapnya, Sir?" "Kami susul dan kami lemparkan ke tanah." "Mudah sekali kedengarannya, akan tetapi tentu hanya dapat dilakukan oleh Winnetou dan Old Shatterhand saja. Hendak Anda apakan bedebah itu?" "Akan kami suruh menengok keadaan anak buahnya." "Bagus sekali! Biar ia mengetahui apa gunanya kembang api kita. Kalau ia menyaksikan sendiri bagaimana kita sudah dapat menjebak dan mengepung prajurit-prajuritnya, tentu ia akan menjadi putus asa." Benar sekali pendapat Hobble-Frank! Jikalau Tokvi Kava mula-mula masih mengandalkan pertolongan anak buahnya, maka kini ia akan insaf bahwa harapannya itu hampa belaka. Mustang Hitam membelalakkan matanya sambil menengok ke bawah serta melayangkan pandangnya ke segala pihak. Ia melihat sendiri betapa prajurit-prajuritnya beserta tunggangannya telah terdesak ke ujung lembah. Kini matanya diarahkannya ke pintu masuk lembah. Ia tahu bahwa api yang besar itu masih dapat menyala sampai pagi hari, bahkan barangkali lebih lama lagi, sebab tadi ia ada melihat juga bahwa orang-orang kulit putih masih mempunyai persediaan minyak tanah satu tahang penuh. Kemudian pandangnya dilayangkannya ke dinding lembah. Maka ia melihat bahwa hanya pada satu tempat saja orang dapat naik ke atas, akan tetapi tempat itu sudah dijaga baik oleh beberapa orang kulit putih yang bersenjata. Lagipula jalan itu sempit sekali, sehingga hanya memungkinkan seorang saja sekaligus mendaki ke atas. Lagi pula di mana-mana ia melihat orang membawa suluh api, sehingga seluruh lembah itu menjadi terang-benderang. Setiap orang yang mempergunakan jalan tadi untuk naik ke atas, akan kelihatan dengan jelas sehingga akan menjadi sasaran yang mudah sekali bagi peluru orang kulit putih. Mustang Hitam menimbang-nimbang, ia mencari akal atau kemungkinan yang dapat dipergunakan oleh prajurit-prajuritnya, akan tetapi tidak mendapatkan sebuahpun. Betul ada pula terlintas dalam pikirannya bahwa orang-orang Indian itu dapat naik ke atas kudanya serta mencoba melarikan diri melalui api, akan tetapi segera pikiran itu dilepaskannya, sebab ia yakin bahwa kuda mereka tidak akan mau disuruh menembusi tabir api itu. Lain daripada itu ia tahu bahwa pintu masuk itu terjaga kuat oleh beberapa orang kulit putih yang bersenjatakan bedil. Maka tampaklah kini pada air muka Mustang Hitam bahwa ia sudah putus asa sama sekali. Winnetou dan Old Shatterhand mengamat-amati sikapnya dengan berdiam-diri saja. Sekonyong-konyong ketua suku Comanche itu berseru: "Uf, uf!" Sebenarnya ia tidak hendak mengatakan apa-apa, akan tetapi karena ia sekonyong-konyong menyadari keadaan yang tidak menguntungkan baginya itu maka dengan tiada disengajanya kata-kata itu sudah lepas dari mulutnya. Sesungguhnya Winnetou dan Old Shatterhand tidak hendak berbicara, akan tetapi oleh karena Mustang Hitam telah mengucapkan seruannya itu, maka Old Shatterhand bertanya: "Nah, sudah selesaikah Tokvi Kava merenungkan nasib anak buahnya? Sudah insafkah ia bahwa prajurit-prajuritnya tidak mempunyai kemungkinan sama sekali untuk meloloskan diri?" "Masih ada satu kemungkinan." "Kemungkinan mana?" "Rasa keadilan Anda." "Jangan Anda mengharapkannya." "Saya tahu bahwa Old Shatterhand bersikap adil." "Jikalau saya harus memperlakukan keadilan, maka saya akan terpaksa menghukum Anda." "Tetapi apa yang sudah kami perbuat? Adakah kami menumpahkan darah Anda?" "Tidak, akan tetapi Anda bermaksud hendak menumpahkannya." "Dapatkah orang melakukan pembalasan terhadap darah yang tidak ditumpahkan?" "Tidak, akan tetapi saya tidak ada menyebut-nyebut darah." "Kalau Anda berpendapat bahwa Anda tidak dapat melakukan pembalasan terhadap darah yang tidak ditumpahkan, maka Anda harus membebaskan kami." "Itu salah. Hukuman apakah yang harus dijatuhkan terhadap pencurian kuda menurut undang-undang prairi?" Tokvi Kava menjadi ragu-ragu, akan tetapi sebentar kemudian ia menjawab: "Hukuman mati; akan tetapi Anda sudah memperoleh kembali kuda Anda." "Dan hukuman apakah dijatuhkan orang terhadap pencurian bedil?" "Hukuman mati juga, akan tetapi Anda sudah memperoleh kembali juga bedil Anda!" "Bahwa kuda dan bedil kami sudah ada pada kami lagi, itu tidak mengurangi kesalahan Anda. Milik kami itu tidak Anda serahkan kembali dengan sukarela, melainkan harus kami rebut kembali. Itu harus Anda tebus dengan jiwa Anda." "Apa, Anda hendak membunuh saya?" seru ketua suku itu dengan marah. "Kami bukan pembunuh. Kamipun tidak hendak membunuh, melainkan hanya menghukum dan Anda sudah mengatakan sendiri hukuman apa yang selayaknya kami jatuhkan terhadap Anda." "Uf! Adakah saya meminta hukuman?" "Ya, ketika Anda menghendaki bahwa saya harus menjalankan keadilan. Dengan congkak sekali Anda sudah menolak tawaran saya untuk minta ampun." Kini ketua suku Comanche itu menurunkan kepalanya serta berdiam-diri. Ia tahu bahwa apabila ia mau minta ampun, maka kedua orang itu akan memberi ampun juga, akan tetapi karena kecongkakannya tidak mau ia mempergunakan kesempatan yang sudah terbuka itu. Setelah berpikir beberapa lamanya maka ia bertanya: "Adakah kami sudah menyerang perkemahan Anda?" "Tidak." "Kalau begitu para penghuni perkemahan itu tidak mempunyai hak sedikitpun untuk berbuat sesuatu terhadap kami." "Itu salah!" "Mengapa saya salah? Apa yang akan Anda perbuat sekiranya ada seekor beruang kelabu datang kepada Anda untuk menyergap Anda?" "Ia akan saya bunuh." "Itu tidak adil. Mana boleh Anda membunuh dia, oleh karena ia belum menyerang Anda atau menggigit Anda." "Itu akan dilakukannya sekiranya ia tidak saya bunuh." "Kalau Anda bersikap adil, maka seharusnya Anda menantikan dahulu apa yang akan dilakukannya." "Beruang bukan manusia! Manitou Besar sudah menetapkan bahwa beruang hidup daripada darah. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan manusia. Manusia yang hendak menumpahkan darah, menunjukkan sikap yang lebih jahat daripada binatang buas. Karena itu maka sudah selayaknyalah apabila ia segera dibunuh tanpa menantikan adakah ia dapat menyampaikan maksudnya atau tidak. Belum insafkah Anda bahwa dengan ucapan Anda itu Anda sudah menetapkan sendiri hukuman Anda!" "Uf, uf!" Seketika lamanya Mustang Hitam berdiam-diri lagi. Old Shatterhandpun tidak mau berbicara lagi. Maka kini ketua suku Comanche itu terpaksa memulai lagi berbicara. Ia bertanya: "Di mana Ik Senanda Anda tawan?" "Pada suatu tempat yang aman, di mana ia menunggu hukumannya." "Apa hukumannya?" "Hukuman mati." "Anda hendak membunuh dia juga? Ia tidak mempunyai urusan sama sekali dengan maksud kami hendak menyerang perkemahan Firewood." "O, lebih daripada itu. Dosanya jauh lebih besar. Sebagai seorang mata-mata, sebagai pengkhianat, ia sudah membuat persiapan untuk pelaksanaan rencana Anda. Anda tentu tahu bahwa mata-mata harus digantung dan tidak patut diberi ampun." "Kalau begitu kami akan berkelahi!" demikian ia mengancam. "Silakan! Tengoklah ke bawah! Dapatkah peluru anak buah Anda mengenai kami? Tidak! Sebaliknya, sepatah kata saja yang saya ucapkan sudah cukup untuk membuat bedil-bedil orang kulit putih itu meletus. Jikalau setiap orang kulit putih menembak dua kali, maka tidak ada seorang kulit merahpun yang masih akan hidup. Itu Anda ketahui sendiri, tidak usah saya buktikan." "Uf! Sejak bilamanakah Old Shatterhand sudah menjadi orang yang mabuk darah?" "Sejak Anda menghendaki bahwa saya menjalankan keadilan, sebab keadilan dalam hal ini menuntut darah." "Kata orang, Anda selalu menyebut diri Anda seorang Kristen dan seorang yang pemurah." "Ya, setiap orang harus bermurah hati, akan tetapi itu bukan suatu hal yang harus dibanggakan." "Adakah orang bermurah hati, apabila ia menuntut darah?" "Jangan Anda bermain dengan kata-kata. Sudahkah para penghuni perkemahan itu berbuat jahat kepada Anda? Tidak, namun begitu Anda hendak membunuh mereka dan hendak mengambil scalpnya. Adakah Anda bermurah hati terhadap mereka? Anda menghendaki keadilan! Permintaan Anda akan saya penuhi. Anda tidak mau saya ampuni!" Kini Mustang Hitam sudah kehilangan akal sama sekali. Ia tidak dapat menyelamatkan dirinya dan menyelamatkan anak buahnya, baik dengan muslihat maupun dengan kekerasan. Akan tetapi, dapatkah ia, Tokvi Kava, ketua suku Comanche yang dipuji-puji orang sebagai prajurit kulit merah yang paling masyhur, yang paling berani dan yang paling ditakuti orang, dapatkah ia berlutut di muka musuhnya yang paling dibencinya itu untuk meminta ampun dan meminta belas kasihan? Tidak! Ia masih mempunyai rasa harga diri. Segenap urat dagingnya menolak kemungkinan itu! Akan tetapi sebaliknya ia tidak melihat kemungkinan lain untuk menyelamatkan para prajuritnya. Ia sendiri tidak takut akan mati, akan tetapi yang ditakutinya benar ialah cara bagaimana musuhnya akan menghabisi nyawanya. Mati dengan cara itu akan mengakibatkan bahwa ia tidak akan masuk ke padang perburuan abadi. Lain daripada itu ia ingin sekali membalas dendam kepada Winnetou dan Old Shatterhand. Jikalau ia mati, siapakah yang akan melakukan pembalasan itu? Ia masih mempunyai tugas dalam dunia ini, yaitu memberi pembalasan sebengis-bengisnya. Akhirnya rasa benci itu dapat mengalahkan kecongkakannya. Dengan perlahan-lahan ia mengangkat kepalanya dan dengan suara yang lesu ia berkata: "Apakah yang dimaksud Old Shatterhand dengan ampun?" "Pengurangan hukuman, atau mungkin juga membebaskan Anda sama sekali dari hukuman." "Ha, jadi Anda hendak membebaskan kami sama sekali dari hukuman?" "Itu hanya kemungkinan teoretis belaka. Oleh karena Anda sudah membuat dosa banyak sekali, maka mustahillah kami akan dapat membebaskan Anda daripada segala hukuman." "Akan tetapi kami tidak akan dihukum mati, bukan?" "Barangkali. Winnetou dan saya tidak menghendaki jiwa Anda. Kami adalah teman seluruh orang kulit merah dan orang kulit putih, dan kami hanyalah menumpahkan darah seseorang apabila orang itu memaksa kami berbuat begitu." "Akan tetapi Anda sendiri tentu mau menyelamatkan jiwa kami?" "Ya." "Uf! Jikalau Anda berbuat begitu, tentu yang lain-lain akan mengikuti teladan Anda, sebab Anda adalah orang kulit putih yang paling masyhur dan paling besar." "Itu belum dapat kita pastikan. Orang-orang kulit putih yang lain adalah orang bebas; mereka mengetahui undang-undang prairi; kami tidak dapat memberi perintah kepada mereka." "Akan tetapi tentu ada kemungkinan juga bahwa mereka mau menyelamatkan jiwa kami." "Sudah tentu. Winnetou dan saya akan mencoba mempengaruhi mereka, walaupun pekerjaan itu tidak mudah. Tetapi sebaliknya Anda harus membantu, artinya Anda harus berusaha meredakan kemarahan mereka." "Apa yang harus kami perbuat?" "Anda harus menyerah." "Menyerah?" demikian ia menghardik. "Gilakah Anda!" "Adakah saya gila oleh karena saya hendak menolong Anda, hendak menyelamatkan jiwa Anda? Kalau demikian pendapat Anda, baiklah! Saya tidak biasa melakukan perbuatan gila; jadi lebih baik kita berdiam-diri saja. Anda telah saya bawa ke mari untuk membuktikan kepada Anda bahwa perlawanan Anda tidak akan dapat menumpahkan darah kami barang setitikpun, akan tetapi sebaliknya Anda semuanya akan binasa. Tujuan itu sudah saya capai. Demi saya memberi tanda, maka bedil-bedil itu semuanya akan meletus. Scalp Anda semuanya akan kami ambil dan jiwa Anda tidak akan masuk ke padang perburuan abadi. Kalau itu yang Anda kehendaki, apa boleh buat. Mari, ikutilah saya!" "Hendak ke mana Anda?" "Ke bawah." "Apa yang akan terjadi?" "Demi saya sampai ke bawah maka Anda akan kami gantung pada pohon yang tinggi dan kami akan memberi tanda yang akan menyebabkan kematian seluruh prajurit Anda. Ayo, marilah!" Old Shatterhand memegang Tokvi Kava pada lengannya untuk membawa dia ke bawah, akan tetapi ketua suku Comanche itu melepaskan dirinya, mundur selangkah lalu bertanya: "Jadi Anda hanya dapat menolong kami apabila kami menyerah?" "Ya." "Dan Anda tidak akan mengambil nyawa kami?" "Mudah-mudahan tidak." "Dan kami boleh kembali ke kampung kami?" "Apabila kami tidak akan mengambil nyawa Anda, maka Anda akan kami perkenankan pulang ke kampung Anda. Apa gunanya kami menahan Anda di sini." "Dan apabila kami boleh pergi sebagai orang-orang yang bebas, tiada takutkah Anda akan balas dendam kami?" "Pshaw! Siapa akan takut kepada Anda! Anda hendak membalas dendam! Itu perbuatan orang yang tidak tahu terimakasih. Bukankah Anda kami tolong, sehingga kami telah berbuat jasa kepada Anda." "Tolonglah kami, maka Anda akan melihat apa yang akan kami perbuat!" "Putuskanlah dengan segera. Anda saya beri waktu yang oleh orang kulit putih disebut lima menit. Dalam waktu itu Anda harus mengambil keputusan." "Waktu tenggang itu tidak perlu, sebab sudah dapat saya katakan sekarang bahwa kami akan menyerah. Bagaimana caranya kami harus menyerah?" "Adakah Anda melihat bahwa lereng lembah di sebelah kanan itu dapat didaki orang?" "Ya." "Jalan itu sedemikian sempitnya sehingga tak mungkin dua orang berjalan berdampingan. Katakanlah kepada prajurit-prajurit Anda bahwa mereka harus datang ke mari seorang demi seorang, akan tetapi tiada membawa senjata. Sesampai ke mari mereka akan kami ikat, selama kami akan merundingkan nasib mereka. Sesudah itu..." "Akan diikat?" sela ketua suku itu dengan marah. "Ya! Kalau Anda tidak setuju, mereka boleh mati semuanya. Bukankah Andapun terikat juga!" "Uf! Old Shatterhand keras sekali sikapnya. Bicaranya sangat lembut, akan tetapi kemauannya sekeras batu!" "Baik sekali apabila itu Anda insafi. Sesuaikanlah diri Anda kepada sikap saya. Jadi Anda setuju bahwa mereka akan diikat?" Tokvi Kava masih bimbang: kemudian ia menegakkan badannya lalu berseru keras-keras karena marahnya: "Ya!" "Baik. Akan tetapi katakan pula bahwa setiap orang yang hendak menipu kami, yang tidak menanggalkan senjatanya, yang membawa senjata berapa keciljuapun, akan segera kami bunuh!" Tampaklah dengan jelas bahwa ketua suku itu gemetar badannya karena tak tahan menahan amarahnya. Ia bertanya: "Apabila saya perturuti kehendak Anda, akan Anda bebaskan pulakah cucu saya?" "Ya." "Bersumpahlah Anda!" "Old Shatterhand tidak pernah bersumpah. Anda saya beri janji saya dan janji itu akan saya pegang teguh." "Ya, saya percaya. Anda sudah seringkah mencelakakan suku Comanche, akan tetapi Anda belum pernah berdusta." "Kecelakaan orang-orang Comanche selalu diakibatkan oleh kesalahan mereka sendiri. Mereka selalu bermusuhan dengan Winnetou dan saya, padahal kami ingin sekali menjadi sahabat dan saudara mereka. Mereka membenci kami dan menyerang kami dan memaksa kami mempertahankan diri. Bahwa mereka selalu kalah, itu adalah salah mereka sendiri. Bukankah dalam hal ini juga Anda sendiri yang salah? Kami tidak berbuat apa-apa terhadap Anda, tetapi Anda telah mencuri milik kami dan hendak membunuh kami. Dalam pada itu Anda berani menyebut kami musuh Anda!" "Jangan Anda teruskan. Nanti akan tiba saatnya, kita akan berunding tentang persahabatan. Kini kami menghadapi pekerjaan yang lain. Lepaskanlah ikatan saya agar saya dapat turun ke tempat prajurit-prajurit saya." "Ah, Anda hendak turun sendiri?" "Itu Anda dengar sendiri." "Dan tanpa ikatan?" "Ya." "Apa gunanya?" "Memberi perintah dari sini tiada cukup. Apabila mereka harus menyerah tanpa membawa senjata, maka saya perlu berunding lebih dahulu dengan mereka." "Baik!" jawab Old Shatterhand dengan tersenyum. "Sekiranya Anda mempunyai maksud yang tersembunyipun tidak akan saya pedulikan juga. Anda saya beri izin turun ke bawah tanpa ikatan, akan tetapi sejak saat Anda tiba di bawah, maka sembilan kali sepuluh buah bedil akan terbidikkan kepada Anda. Jikalau sesudah lima menit Anda saya panggil dan Anda tidak naik kembali sebagai orang yang pertama, maka setiap bedil akan melepaskan dua buah tembakan. Howgh! Pergilah sekarang!" Old Shatterhand melepaskan ikatan Tokvi Kava. Selama itu Winnetou berdiam diri saja, akan tetapi demi ia melihat ketua suku Comanche itu hendak turun ke bawah, maka ia meletakkan tangannya kepada bahu Mustang Hitam seraya berkata: "Apa yang telah dikatakan oleh Old Shatterhand saya setujui semuanya. Apabila Anda dipanggilnya dan Anda tidak segera memenuhi perintahnya itu, maka peluru pertama yang akan mengenai Anda ialah peluru saya. Howgh!" Dengan tidak mengacuhkan perkataan Winnetou itu Mustang Hitampun turun ke lembah. Orang-orang kulit putih dan orang-orang Comanche yang ada di bawah semuanya mengikuti gerak-gerik Mustang Hitam. Old Shatterhand bertanya kepada Winnetou: "Adakah saudara saya Winnetou menyetujui segala yang saya katakan tadi dan segala yang saya tentukan?" "Ya, segala-galanya," jawab orang Apache itu dengan menganggukkan kepalanya. "Sikap saudara saya orang kulit putih adalah sangat bijaksana. Ketua suku Comanche itu tidak menyadari bahwa seluruh pasukannya akan dilucuti senjatanya." "Adakah Anda mengira bahwa ia akan balik kembali?" "Ya. Ia tidak akan bimbang, sebab ia yakin bahwa tidak adalah jalan lain untuk menyelamatkan prajurit-prajuritnya. Lagipula prajurit-prajuritnya niscaya akan patuh kepadanya." Demi orang-orang Comanche mendengar kata-kata yang disampaikan oleh ketua sukunya, maka mereka meraung-raung dengan kerasnya. Untuk menyatakan bahwa ia tidak berolok-olok, maka Old Shatterhand memberi perintah singkat dengan suara yang menggelegar. Maka sekalian orang kulit putih yang ada di seberang lembah datang berlari-lari ke tempatnya untuk ikut menjemput prajurit-prajurit Comanche yang akan menyerah. Dalam pada itu semua bedil diarahkan ke bawah, siap untuk menembak sekiranya Old Shatterhand memerintahkannya. Orang-orang kulit putih yang ada di bawah di dekat api, membidikkan bedilnya pula ke arah lembah. Orang-orang kulit putih penghuni perkemahan Firewood menggabungkan diri pula kepada kelompok Old Shatterhand, oleh karena mereka merasa malu untuk membiarkan rekan-rekan mereka dari Rocky Ground menyelesaikan pekerjaan itu sendiri saja. Hanya Leveret, insinyur mereka, tidak menampakkan diri, sebab ia lebih merasa aman apabila ia menyingkir sejauh-jauhnya dari tempat yang menurut pendapatnya sangat membahayakan itu. Akan orang-orang Tionghoa, yang ingin mengetahui juga bagaimana petualangan itu akan berakhir, mereka tiada berani menampakkan diri. Mereka berkumpul pada suatu tempat yang jauh letaknya dari lembah, siap untuk lari apabila ada bahaya datang. Bukan saja mereka takut akan prajurit-prajurit orang Comanche, melainkan mereka tidak dapat melupakan pula betapa kuatnya Old Shatterhand dan Winnetou. Bibi Droll telah datang pula dari seberang lembah. Kini ia berdiri di sebelah saudara sepupunya seraya membidikkan senjatanya ke arah lembah. Maka ia bertanya: "Hai, Frank, adakah engkau mendengar segala yang dibicarakan di sini tadi?" "Perlukah saya menjawab pertanyaan sebodoh itu?" jawab Hobble-Frank. "Bukankah saya selalu ada di sini dan bukankah saya mempunyai dua buah telinga. Mengapa engkau menduga bahwa saya tidak mendengar apa-apa?" "Bahwa engkau mempunyai dua buah telinga, itu sudah saya ketahui. Akan tetapi banyak juga orang mempunyai telinga tetapi tidak mendengar apa yang seharusnya didengarnya. Bukankah orang kulit merah itu tadi ketua suku Comanche?" "Ya." "Adakah ia diajak berunding?" "Ya." "Apa yang harus diperbuatnya?" "Orang-orang Comanche harus menyerah. Mereka harus datang ke mari seorang demi seorang dan di sini mereka akan kita ikat." "Cerdik sekali teman kita Old Shatterhand! Sekiranya mereka berbondong-bondong naik ke atas, maka itu dapat membahayakan kita. Akan tetapi karena mereka akan datang seorang demi seorang, maka mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa. Mudah-mudahan saja semuanya akan berlangsung dengan baik. Tali untuk mengikat mereka lebih daripada cukup jumlahnya. Kita boleh mengucap syukur bahwa kita telah berjumpa dengan Winnetou dan Old Shatterhand. Dengan demikian maka kita dapat mengalami sesuatu yang sangat menarik." "O? Jadi dengan saya engkau tidak pernah mengalami sesuatu yang penting?" "Jangan engkau lekas marah," jawab Droll. "Bukan itu maksud saya. Engkau selalu meletus sebagai bom jika mendengar kata-kata yang tidak mengandung pujian bagimu." "Diam! Bagaimana engkau dapat membandingkan saya dengan sebuah bom." "Karena Anda selalu lekas meledak!" "Meledak! Istilah apa itu bagi seorang sepenting saya ini. Tetapi, berhenti dahulu berbicara! Rupa-rupanya Old Shatterhand hendak memanggil." Waktu lima menit sudah lampau dan Old Shatterhand menjengukkan diri ke arah lembah, memasang kedua belah tangannya di muka mulutnya, lalu berseru: "Tokvi Kava, eta haneh!*" (*Naiklah, Tokvi Kava!) Mustang Hitam mendengar kata-kata itu, lalu memberi perintah terakhir kepada prajurit-prajuritnya. Kemudian ia berbalik, lalu naik ke atas. Dalam pada itu para prajurit Comanche meletakkan senjata-senjatanya pada suatu timbunan. Rupa-rupanya perintah Mustang Hitam sudah jelas sekali; orang-orang Comanche itu bersiap-siap hendak naik ke atas pula seorang demi seorang dan mereka hanya menunggu sampai ketua sukunya tiba di pinggir lembah. Setiba di atas Tokvi Kava menyiapkan tangannya di belakang punggungnya seraya berkata dengan suara yang serak: "Tokvi Kava memegang janjinya. Kini ia sudah siap untuk diikat kembali. Akan tetapi awas jikalau datang giliran saya untuk mengikat Anda. Jikalau itu akan terjadi kelak, maka dapatlah Anda pastikan bahwa Anda tidak akan melihat matahari lagi." Ketua suku Comanche itu segera diikat, lalu dibaringkan di tempat yang agak jauh dari pinggir lembah. Prajurit Comanche yang pertama datang, segera diikat pula lalu diikatkan kepada punggung Mustang Hitam. Dengan mengikat para tawanan berdua-dua punggung pada punggung serupa itu, maka keamanan terjamin dengan sempurna. Semuanya berlangsung menurut rencana. Setiap orang Comanche baru naik ke atas setelah orang yang mendahuluinya tiba di pinggir lembah. Dengan demikian maka orang-orang kulit putih mempunyai kesempatan yang leluasa untuk memeriksa saku para tawanan serta mengikat mereka erat-erat. Bahwa Tokvi Kava mematuhi segala perintah Old Shatterhand itu, adalah membuktikan bahwa ia mempunyai maksud yang tertentu. Maksud apakah itu? Untuk memudahkan musuhnya menangkap prajurit-prajuritnya? Pasti tidak. Untuk mengambil hati musuhnya agar ia mendapat syarat-syarat yang lebih ringan bagi kebebasannya? Boleh jadi! Mungkin juga ia bersikap sebaik itu untuk menunjukkan bahwa hanya kebebasan belaka yang penting baginya; selebihnya tidak berapa diacuhkannya, oleh karena ia yakin bahwa kelak ia akan mendapat kesempatan mengadakan pembalasan. Setelah orang Indian yang terakhir terikat, maka ternyatalah bahwa di tanah ada terbaring lebih daripada limapuluh pasang orang tawanan. Tokvi Kava meminta Old Shatterhand datang, lalu berkata: "Memaksa prajurit-prajurit saya mematuhi perintah saya, bukanlah pekerjaan yang mudah. Tetapi semuanya sudah saya lakukan dengan itikad baik. Maukah Anda sekarang berusaha agar teman-teman Anda orang kulit putih mau memberi kami hidup?" "Bahkan lebih daripada itu," jawab Old Shatterhand. "Saya sudah berjanji kepada Anda, bahwa saya akan mempergunakan segala pengaruh saya. Oleh karena Anda sudah patuh benar kepada saya, maka sekali lagi saya berjanji dengan khidmat, bahwa nyawa Anda akan saya selamatkan dan bahwa Anda akan kami bebaskan." Ketua suku Comanche tiba-tiba tertawa gelak-gelak. Sambil menatap muka Old Shatterhand dengan pandang yang mengandung kebencian yang tak berhingga, ia berkata: "Patuh? Saya patuh kepada Anda? Adakah singa patuh kepada anjing? Jangan Anda mempunyai persangkaan yang bukan-bukan! Siapakah Anda? Bisul yang harus dengan segera saya iris dari tubuh yang busuk! Anda sahabat Winnetou! Dan siapakah Winnetou? Tak lain daripada seorang Apache yang pengecut dan hina! Racun yang patut diludahkan dan diinjak-injak dengan kaki! Adakah otak Anda sudah menjadi beku bahwa Anda berani mengatakan bahwa Mustang Hitam patuh kepada Anda? Saya bersumpah demi Manitou yang Maha Besar dan demi arwah sekalian nenek moyang saya, bahwa akan tibalah saatnya bahwa Anda akan mengetahui siapa yang akan memerintah dan siapa yang akan patuh! Pada dewasa ini Anda saya tiup sehingga Anda akan lenyap sebagai seekor lalat. Enyahlah dari sini! Mual hati saya melihat muka Anda!" Old Shatterhand menjawab dengan suara yang tenang: "Inginkah Anda mengurbankan jiwa Anda? Anda adalah tawanan kami dan ada masih belum bebas!" "Pshaw!" jawab ketua suku Comanche dengan tertawa mengejek. "Tokvi Kava tiada dapat dipertakuti! Old Shatterhand sudah sekali mengatakan bahwa jiwa dan kebebasan kami telah terjamin!" "Aha! Sedemikian besar Anda mengandalkan janji saya! Tahukah Anda bahwa dengan berbuat demikian Anda memberi saya kehormatan yang paling besar? Anda pun tidak salah sangka juga. Anda boleh memaki-maki saya, boleh melemparkan kemarahan Anda kepada saya. Namun janji saya akan saya pegang teguh." "Ya, karena Anda takut sekali kepada saya! Anda hendak memegang janji Anda itu karena takut belaka. Setiap titik darah yang mengalir akan dituntut kembali oleh suku saya. Anda akan mati pada tiang siksaan. Anda akan kami siksa sebagai belum pernah orang kulit putih kami siksa. Takut, sekali lagi takut, itulah yang menyebabkan Anda tidak berani mengingkari janji Anda!" "Kini Anda berani memfitnah saya dan menghina saya, oleh karena saya telah memberikan janji saya. Oleh karena Anda tahu bahwa Old Shatterhand tiada pernah mengingkari janjinya, maka Anda yakin bahwa Anda dapat berbuat kurang ajar terhadap saya. Anda menyalak sebagai anjing yang sudah dicabuti giginya sehingga ia tak dapat menggigit." "Anjing itu justru adalah Anda sendiri!" seru orang Comanche dengan marah. "Lihatlah kaki saya ini; kaki ini akan menyepak Anda sehingga Anda akan meraung-raung kemarahan!" "Berani benar Anda, karena saya sudah telanjur mengucapkan janji saya," kata Old Shatterhand dengan tersenyum. "Akan tetapi saya nasihatkan jangan Anda teruskan. Jikalau Anda tiada dapat menguasai diri Anda, maka akhirnya Anda akan menyesal." "Menyesal? Kata itupun Anda ucapkan juga karena takut. Silakan Anda mengucapkan ancaman apapun juga, saya hanya akan tertawa saja." Kini muka Old Shatterhand berubah menjadi sungguh-sungguh dan dengan suara yang sedikitpun tidak mengandung olok-olok iapun berkata: "Baik, permintaan Anda akan saya luluskan. Janji saya sudah barang tentu akan saya pegang teguh, akan tetapi tidak lebih daripada itu, tidak sehurufpun saya menyimpang daripada apa yang telah saya janjikan. Apa yang saya maksud dengan kata-kata itu, akan segera Anda ketahui. Semula saya bermaksud hendak memperlakukan Anda dengan lemah-lembut, akan tetapi itu tidak terpikirkan lagi olehku. Ramalan saya akan segera terlaksanakan. Anda akan menyesali diri!" Dengan susah payah orang Comanche itu membangkitkan dirinya, lalu meludah ke arah Old Shatterhand. Winnetou yang biasanya tenang sekali sikapnya, kini menjadi marah sekali oleh perbuatan Mustang Hitam yang tidak senonoh itu. Dengan marah ia berseru: "Sharli*, ia sudah berani mengotori Anda dengan liurnya yang jijik. Siapa yang akan menghukum dia: Anda atau saya?" (*Karl, nama muda Old Shatterhand) "Bukan Anda melainkan saya sendiri, akan tetapi dengan cara yang lain daripada yang Anda sangka," jawab Old Shatterhand. "Ia tidak layak Anda jamah dengan tangan Anda." Orang-orang lain yang menyaksikan peristiwa itu menjadi marah juga. Mereka menuntut agar ketua suku Comanche itu diberi pelajaran yang setimpal. Cas menggeleng-gelengkan kepalanya; hidungnya yang kecil itu tampak menjadi besar; matanya yang biasanya menunjukkan kesabaran, kini berkilat-kilat dan dengan suara yang keras ia berseru: "Mr. Shatterhand, itu terlalu! Itu tidak boleh Anda biarkan. Saya bersedia memberi dia pelajaran yang akan diingatnya seumur hidup." "Dengan apa?" "Dengan tali yang akan saya ikatkan pada lehernya. Saya sudah mendapatkan sebuah pohon yang tinggi, yang dahan-dahannya indah sekali, seakan-akan disediakan untuk menggantungkan bedebah seperti orang ini. Apabila dengan demikian ia tidak dapat bernafas, maka itu bukanlah salah saya. Barangsiapa tidak mau mendengar, harus merasakan sendiri. Itu adalah pepatah yang sudah terkenal, demikian juga dahulu pada ahliwaris Timpe!" "Terimakasih! Apabila ia dilahirkan untuk mati gantung, maka ia niscaya akan dapat memperoleh sendiri tali yang serasi." "Apa?" seru Hobble-Frank. "Ia sudah menghina Anda sebesar ini dan ia tidak akan mendapat upahnya yang philharmonis! Itu tidak dapat saya setujui. Karena itu maka adalah kewajiban saya untuk..." "Frank sahabatku, dalam hal ini Anda tidak mempunyai kewajiban sama sekali, melainkan saya sajalah yang mempunyai kewajiban," demikian Old Shatterhand menyela perkataannya. "Serahkan sajalah kepada saya bagaimana saya hendaknya membalas penghinaan ini." "Itu tidak saya setujui sama sekali! Saya tahu bahwa, apabila kewajiban itu saya serahkan kepada Anda, ia tidak akan mendapat hukuman yang setimpal." "Jangan khawatir, Frank! Sekali ini saya tidak akan bersikap lemah-lembut." "Ha! Sekarang Anda mulai insaf. Hukuman apakah yang akan Anda jatuhkan kepadanya?" "Nantikan sajalah." "Baik! Kami semuanya akan menyaksikan pelaksanaannya!" "Kehendak Anda akan terpenuhi. Adakah pisau bowi Anda masih tajam?" "Setajam dan seruncing kilat, Mr. Shatterhand." "Nah, apabila demikian halnya, maka Cas dan Has boleh memegang kepala Mustang Hitam sedemikian eratnya sehingga ia tidak akan dapat menggerakkan kepalanya. Frank, engkau saya izinkan memotong rambutnya, akan tetapi tinggalkan seikal, supaya saya dapat mengikatkan pada ikal itu hiasan secara Asia Timur." Setelah mengucapkan kata-kata itu maka diambilnya dari dalam saku bajunya kuncit kedua orang Tionghoa yang telah mencuri bedilnya. "Horee, kuncit Kang Keng Kong! Itu sudah hampir saya lupakan. Pekerjaan itu akan saya lakukan dengan segala kegembiraan!" Dengan segala kegembiraan Hobble-Frank menerima tugas itu. Orang-orang kulit merah sedikitpun tidak mengetahui apa yang akan dilakukan oleh Hobble-Frank, sebab percakapan antara Old Shatterhand dan Hobble-Frank tadi dilakukan dalam bahasa Jerman. Ketua suku Comanche melihat pisau bowi di tangan Hobble-Frank; ia melihat kuncit yang dipegang oleh Old Shatterhand. Ia tahu bahwa kedua benda itu ada sangkut-pautnya dengan dirinya akan tetapi apa yang sebenarnya akan dilakukan belumlah diinsafinya. Ia yakin bahwa perbuatan itu tentu tidak akan menguntungkan baginya. Ia menjadi takut dan ketakutan itu ternyata sekali dari air mukanya dan ketakutan itu makin menjadi-jadi, demi ia melihat Cas dan Has berlutut di sebelah kiri dan kanannya. Ia mulai menjadi curiga, lalu bertanya: "Apa yang hendak kau lakukan? Hendak kau apakan saya!" Cas dan Has tidak menyahut, melainkan Old Shatterhand menjawab: "Anda akan saya beri hadiah, karena Anda bersikap ramah-tamah dan sopan terhadap saya." "Hadiah apa?" "Anda datang ke mari untuk mengambil scalp orang-orang kulit kuning, akan tetapi sayang sekali maksud Anda tidak sampai, oleh karena orang-orang kulit kuning tidak bersedia melepaskan scalp mereka. Karena saya sayang kepada Anda maka dapatlah Anda fahami, bahwa saya akan membantu Anda memperoleh apa yang sudah luput dari tangan Anda. Hadiah saya berupa kuncit, bukan sebuah saja, bahkan dua buah. Mudah-mudahan pemberian saya ini akan Anda terima dengan segala senang hati." Tokvi Kava tidak dapat menjawab, melainkan hanya mengucapkan kata "Uf" belaka. Rupa-rupanya ia belum menginsafi benar-benar apa maksud Old Shatterhand; karena itu maka Old Shatterhand menyambung: "Kuncit tempatnya pada kepala, oleh karena itu maka hadiah saya akan saya ikatkan pada kepalamu, agar dapat Anda simpan sebagai kenang-kenangan." "Uf, uf!" jawab Tokvi Kava dengan menghardik. "Scalp tidak digantungkan orang pada kepala, melainkan pada ikat pinggang. Lagipula ini bukanlah scalp, melainkan hanya rambut orang-orang kulit kuning yang pengecut. Tiada tahukah Anda bahwa scalp adalah kulit kepala? Tiada tahukah Anda bahwa seorang prajurit yang mendapat rambut serupa itu belaka akan menjadi tertawaan kanak-kanak dan perempuan tua?" "Ya, saya tahu, namun begitu rambut itu harus Anda pakai juga, sebab sudah saya hadiahkan kepada Anda dan saya sudah biasa bahwa pemberian saya selalu dihargai orang." "Saya tidak menghargainya, saya tidak mau memilikinya." "Itu tiada saya tanyakan. Rambut itu sudah saya hadiahkan kepada Anda; karena itu harus diikatkan pada rambut Anda." "Cobalah kalau Anda berani!" kata ketua suku itu dengan berteriak. "Jangan Anda lupa bahwa saya seorang ketua suku!" "Pshaw! Anda tahu juga bahwa sayapun seorang ketua suku, ketua pemburu-pemburu kulit putih dan ketua suku Apache yang sejajar dengan Winnetou. Dan bagaimana Anda memperlakukan saya! Beranikah Anda menyangka bahwa saya akan menghormati Anda sebagai seorang ketua suku, apabila Anda telah menghina saya walaupun Anda mengetahui, bahwa sayapun ketua suku? Pada pandangan saya Anda bukanlah lagi seorang ketua suku, melainkan seorang bedebah yang akan saya beri noda dengan mengikatkan kuncit Tionghoa ini kepada kepalamu. Biarlah peristiwa ini akan menjadi peringatan bagi prajurit-prajuritmu bahwa tidak seorangpun dari mereka akan dapat memperlakukan Winnetou dan Old Shatterhand sebagai kanak-kanak yang dapat dihina begitu saja." Mata Tokvi Kava menjadi merah dan berkilat-kilat. Ia menggertakkan giginya seraya berkata: "Hati-hatilah! Jangan Anda berani memperlakukan seorang ketua suku kulit merah yang gagah berani serupa itu!" "Anda memberi saya peringatan? Dulupun saya pernah juga memberimu peringatan, akan tetapi belum pernah engkau mendengarkannya. Rasakanlah sekarang akibatnya, apalagi karena Anda tidak mau percaya bahwa Anda akan menyesali perbuatan Anda. Anda akan memperoleh hiasan pada kepala Anda. Oleh karena rambut Anda sudah panjang, maka terlebih dahulu rambut itu akan dipotong dan akan ditinggalkan seikal saja untuk mengikatkan kuncit ini." Sekiranya Tokvi Kava disambar oleh petir, maka tidak akan lebih hebat terkejutnya. Matanya membelalak, air liurnya berbuih-buih memenuhi mulutnya. Walaupun tangan dan kakinya terikat, masih dapat ia bangkit dan dengan suara yang gemetar karena marah iapun berseru: "Anda akan menyuruh potong rambut saya? Rambut ini perhiasan kepala saya, rambut ini ialah pusat tenaga dan kekuatan saya serta tanda kebesaran saya. Anda benar-benar hendak menyuruh orang memotong benda yang keramat ini?" "Betul! Dan dengan segera." "Cobalah kalau berani, maka Anda kelak akan menderita siksaan sebesar siksaan seribu orang!" "Pshaw! Ancaman itu hanya dapat saya sambut dengan senyuman belaka. Ancaman serupa itu tidak akan dapat menggoyahkan keputusan saya. Cas dan Has, letakkan orang itu ke tanah dan peganglah kepalanya erat-erat." Kedua orang Timpe segera melaksanakan perintahnya. Badan orang Comanche itu ditarik ke tanah seraya ditekan dengan lutut sedemikian kerasnya sehingga Mustang Hitam tiada dapat bergerak. Kemudian kepalanya ditekan dengan empat buah tangan ke tanah. Akhirnya Tokvi Kava tidak memberi perlawanan sama sekali. Sikapnya seakan-akan sikap orang yang kejang urat dagingnya. Ia berbaring lurus-lurus serta memejamkan matanya dan dengan perlahan-lahan ia berkata pada dirinya sendiri: "Tidak, ia tidak berani berbuat begitu; ia tidak akan berani; ia tidak boleh berbuat begitu. Sepanjang sejarah orang kulit merah belum pernah ada seorang ketua suku yang dipotong rambutnya. Dan inipun tidak boleh terjadi!" "Jikalau benar belum pernah terjadi, maka itu akan terjadi sekarang," jawab Old Shatterhand. "Ayo Frank, mulailah dengan segera! Jangan kita membuang-buang waktu!" "Benar kata Anda," seru Frank. Dalam pada itu ia mencabut pisaunya, lalu menghampirinya orang Comanche itu. Mustang Hitam mendengar langkah Hobble-Frank, lalu membuka matanya, maka kini yakinlah ia bahwa apa yang dipandangnya sebagai sesuatu yang mustahil tadi, akan terjadi juga. Maka keyakinan itu memberi dia tenaga yang luarbiasa. Walaupun tangannya masih terikat di belakang punggungnya, namun dengan gerak dadanya ia dapat melemparkan kedua orang Timpe. Dengan segera dua orang bersaudara itu menguasai Tokvi Kava kembali, akan tetapi karena Mustang Hitam memberi perlawanan dengan tenaga yang luar biasa, maka kedua orang Timpe itu perlu dibantu oleh dua orang lagi, sebelum mereka dapat menguasai orang kulit merah itu. Kini Hobble-Frank menjalankan tugasnya; dengan cekatan sekali ia mempergunakan pisaunya. Baru saja Hobble-Frank memotong seikal, maka Tokvi Kava berhenti memberi perlawanan. Badannya menjadi lemah seperti mayat. Setelah memberi perlawanan yang luarbiasa tadi, maka kini ia menerima nasibnya seakan-akan ia sudah menjadi lumpuh. Dibiarkannya saja rambutnya digunduli oleh Hobble-Frank. Kini kepalanya sudah menjadi botak, kecuali seikal belaka yang masih ditinggalkan. Setelah selesai pekerjaannya, maka Frank memungut kuncit orang Tionghoa seraya berseru: "Nah, kini persiapan telah selesai. Saksikanlah, tuan-tuan yang terhormat, bagaimana saya akan meletakkan mahkota Tionghoa ini ke atas kepala Indian. Ketua suku Comanche kini sudah terbaring di muka saya dengan lemah-lembut. Ia telah memperhatikan nasihat kita serta menerima nasibnya dengan tawakal. Itu adalah suatu sikap yang patut dihargai dan penghargaan itu sudah ada dalam genggaman saya dan akan segera saya lekatkan kepada kepalanya. Mr. Shatterhand, gelar apakah yang akan kita berikan kepada orang ini? Sejak saat ini tidak patut ia bergelar Tokvi Kava." Old Shatterhand menjawab: "Itu benar, Frank. Namanya sekarang akan kita cabut dan akan kita ganti dengan nama yang lain. Kini ia sudah menjadi orang Tionghoa yang tadi disebutnya anjing kuning. Sejak saat ini namanya bukan lagi Tokvi Kava, melainkan Mungwi Ekknan Makik." Rangkaian ketiga perkataan itu kira-kira berarti: pemimpin anjing-anjing kuning. Maka kini Old Shatterhand berseru dengan suara yang sedemikian kerasnya sehingga semuanya dapat mendengarnya dan kemudian diulangnya dalam bahasa Comanche: "Dengarkanlah apa yang sudah terjadi! Oleh karena ketua suku Comanche ini menunjukkan sikap yang tidak patut dan memperlihatkan perangai yang memalukan, lagi pula sudah menjadi pengecut sekali, maka namanya sudah dibuang oleh orang-orang kulit putih dari daftar prajurit-prajurit kulit merah yang gagah berani. Tidak patut lagi ia memakai jimatnya. Karena itu jimatnya akan kami rampas dan sebagai gantinya kami ikatkan kepada kepalanya rambut 'anjing-anjing kulit kuning' ini dan sejak saat ini ia kami beri nama 'Mungwi Ekknan Makik'. Old Shatterhand selesai berbicara!" Dalam kehidupan orang Indian ada beberapa peristiwa dan beberapa benda yang penting sekali artinya. Peristiwa yang terpenting ialah pemberian nama: benda yang terpenting ialah jimat. Orang Indian tidak mempunyai nama kecil atau nama keluarga. Setiap orang Indian harus memperoleh namanya karena sesuatu jasa atau karena sifat-sifat yang istimewa. Apabila jasanya itu hilang oleh perbuatan yang senonoh atau jikalau sifat-sifatnya berubah menjadi tidak baik, maka namanya itu akan dicabut orang, bahkan kadang-kadang ia akan diusir dari sukunya. Baru ia akan diterima kembali apabila ia dapat membuktikan kembali dengan perbuatan-perbuatan yang istimewa atau yang jantan bahwa kini ia sudah patut lagi mempergunakan namanya yang telah hilang tadi. Dengan demikian maka bagi seorang prajurit kulit merah nama adalah sama besar artinya dengan jiwanya sendiri. Jimat mempunyai khasiat yang bersifat keagamaan. Jimat itu dapat melindungi pemiliknya daripada bencana, lagi pula memberi derajat kepada seorang prajurit kulit merah. Kehilangan jimat hampir sama artinya dengan kehilangan jiwanya. Kehormatan seseorang dilambangkan oleh jimatnya. Dengan demikian maka pembaca dapat membayangkan betapa beratnya hukuman yang dijatuhkan atas diri Mustang Hitam: namanya telah dicabut dan jimatnya dirampas! Itu merupakan noda yang sebesar-besarnya bagi seorang prajurit Indian, apalagi bagi seorang ketua suku. Noda itu lebih besar artinya daripada apabila seorang perwira dicabut tanda-tanda pangkatnya, sebab menurut kepercayaan orang Indian, kehilangan jimat menyebabkan dia tidak akan masuk ke padang perburuan abadi, jadi di alam baka ia akan mendapat tempat yang tidak terhormat. Karena itulah maka setelah Old Shatterhand menjatuhkan hukuman atas Tokvi Kava, suasana menjadi sunyi senyap, tidak seorang pun mengeluarkan sepatah kata jua. Semua orang memandang kepada Mustang Hitam. Old Shatterhand memberi isyarat kepada Hobble-Frank supaya segera mengikatkan kuncit orang-orang Tionghoa itu ke atas kepala Tokvi Kava. Setelah itu dikerjakan maka Old Shatterhand menghampiri Mustang Hitam, lalu mencabut jimat yang tergantung pada leher ketua suku Comanche itu. Maka Old Shatterhand berseru dengan suara yang keras: "Jimat ini saya gantungkan pada leher saya sendiri dan dengan demikian maka Tokvi Kava, ketua suku Comanche, seakan-akan sudah saya hukum gantung. Dengan demikian bukan saja sudah melayang jiwanya, melainkan jiwa itu tidak akan masuk ke padang perburuan abadi. Orang yang terbaring di muka saya ini bukan lagi Mustang Hitam, melainkan Mungwi Ekknan Makik, anjing kuning yang memakai kuncit Tionghoa. Anda semuanya telah menyaksikannya dan telah mendengar perkataan saya. Howgh!" Apa yang kini terjadi tiadalah dapat dilukiskan dengan perkataan. Orang-orang kulit putih bersorak-sorak. Orang-orang kulit merah memekik-mekik dan meraung-raung dengan suara yang tidak lagi dapat dikatakan suara manusia. Mereka menarik-narik ikatannya, mencoba melepaskan diri. Serta ternyata bahwa usahanya tidak berhasil maka dengan berpasang-pasangan mereka bergulung-gulung karena marahnya. Kemudian mereka memaki-maki dan menyumpah-nyumpah. Pelbagai macam umpatan dan penghinaan ditujukannya kepada Old Shatterhand dan Winnetou. Mustang Hitam berbuat sebagai orang gila. Kini rupa-rupanya tenaganya sudah balik kembali, bahkan sudah berlipat ganda. Sepuluh orang kulit putih hampir tak kuasa menahan perlawanan orang Comanche yang sedang mengamuk itu. Dalam pada itu Mustang Hitam mengeluarkan maki-makian yang sedemikian kotornya sehingga Winnetou tak tahan mendengarnya. Ia menyuruh kedua orang Timpe menyumbat mulut Mustang Hitam. Perintah itu segera dilaksanakan. Akhirnya orang-orang kulit merah mulai agak tenang kembali dan Winnetou segera berseru: "Saya selalu menyangka bahwa putera-putera suku Comanche ini adalah manusia. Akan tetapi kini ternyata bahwa sangkaan saya salah belaka. Orang-orang Comanche memekik-mekik dan meraung-raung serta menyumpah-nyumpah sebagai binatang buas. Mula-mula saya hendak memperlakukan mereka sebagai prajurit yang terhormat, akan tetapi kini mereka akan saya beri pelajaran agar mereka tidak akan dapat memuntahkan racun lagi. Seretlah mereka ke lembah atau lemparkanlah mereka ke bawah! Di sana kita akan dapat menjaga mereka lebih baik daripada di sini. Sesudah itu baru kita akan dapat merundingkan apa yang akan kita perbuat dengan mereka." Mendengar ucapan Winnetou itu Mustang Hitam segera berseru: "Engkau tidak akan berunding! Old Shatterhand sudah berjanji akan menyelamatkan hidup kami." "Hidupmu!" jawab Winnetou dengan cemooh. "Apabila ketua suku Apache mengalami peristiwa seperti yang kaualami ini, maka ia tak akan mau hidup lebih lama lagi. Ia akan mencabut pisaunya dan akan membunuh dirinya. Akan tetapi engkau tak ada henti-hentinya meraung-raung dan menyatakan nodamu!" "Anjing!" seru ketua suku Comanche dengan suara marah yang tak dapat ditahannya. "Saya tidak meraung, saya hanya ingin hidup terus agar saya dapat membalas dendam kepadamu!" "Pshaw! Itu dapat kaulakukan! Dengan membiarkan kamu hidup terus, kami membuktikan bahwa pembalasanmu sedikitpun tidak kami hiraukan atau kami takutkan." Sesudah itu Winnetou berpaling sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian dipegangnya tangan Old Shatterhand yang diajaknya turun ke lembah. Mereka berdua tidak mau menyaksikan bagaimana orang-orang kulit putih akan melaksanakan perintah Winnetou. Edit & Convert: zhe (zheraf.wapamp.com) http://www.zheraf.net V. MENENTUKAN NASIB TAWANAN Sebelumnya telah kita ketahui bahwa Old Shatterhand dan kawan-kawannya bukan saja telah dapat menggagalkan usaha Mustang Hitam untuk menyerang perkemahan Firewood, bahkan bahwa mereka telah berhasil menangkap para prajurit Comanche yang diikatnya berpasang-pasangan di pinggir lembah Gua Birik. Mula-mula Old Shatterhand bermaksud hendak memperlakukan Mustang Hitam dengan baik, akan tetapi oleh karena sikap ketua suku Comanche itu kurang ajar sekali, maka kepadanya telah dijatuhkan hukuman yang berat sekali, yakni mencukur rambut Mustang Hitam dengan meninggalkan seikal rambut saja yang dipergunakan untuk mengikatkan dua buah kuncit orang Tionghoa. Itu merupakan suatu penghinaan dan noda yang besar sekali bagi seorang ketua suku. Oleh noda sebesar itu setiap ketua suku kulit merah tidak akan mau hidup lebih lama lagi, akan tetapi berlainan sekali halnya dengan Mustang Hitam oleh karena ia ingin hidup terus agar kelak memperoleh kesempatan membalas dendam dengan cara yang sebengis-bengisnya. Ketua suku Comanche itu tak ada henti-hentinya meneruskan usahanya, menghina Old Shatterhand, bahkan sampai-sampai meludahi muka Old Shatterhand, karena ia yakin bahwa pemburu kulit putih itu tidak akan menarik kembali janjinya, yaitu akan membebaskan dia beserta para prajuritnya. Terhadap Winnetou pun ia bersikap kurang ajar sekali, sehingga ketua Apache yang biasanya sangat sabar itu akhirnya memberi perintah agar Mustang Hitam dan anak buahnya diseret masuk kembali ke dalam lembah. Perintah Winnetou itu dilaksanakan oleh para pekerja kereta api dengan cara yang tidak dapat dikatakan halus, walaupun mereka menjaga agar para prajurit itu tidak mendapat luka. Pada pintu masuk ke dalam lembah, api yang menutupi pintu itu dikecilkan, sehingga ada ruangan sedikit untuk menyeret para tawanan ke lembah. Kemudian mereka dibaringkan di tanah berpasang-pasangan dan dengan segera para pekerja kereta api hendak merampas senjata orang kulit merah. Akan tetapi niat mereka itu dialang-alangi oleh Old Shatterhand yang berseru: "Jangan, jangan Anda menyentuh senjata mereka; Anda masih belum tahu apa yang akan kita putuskan tentang milik mereka." Para pekerja itu segera mentaati perintah Old Shatterhand. Di antara mereka banyak juga yang tidak biasa melepaskan kehendaknya atas perintah orang lain, akan tetapi terhadap Winnetou dan Old Shatterhand mereka tiada berani membangkang. Sesungguhnya ada empat orang yang berhak menentukan nasib orang-orang Comanche, yakni Winnetou, Old Shatterhand dan kedua orang insinyur Rocky Ground dan perkemahan Firewood. Akan tetapi oleh karena insinyur perkemahan Firewood tak mau mencampuri urusan menyerang orang-orang Comanche, bahkan dia menyembunyikan diri demi keamanan dirinya sendiri, maka sudah sewajarnyalah bahwa ia tidak akan diikut-sertakan dalam perundingan yang akan memutuskan nasib orang-orang Comanche. Karena itu maka ketiga orang yang lain itu kini duduk untuk memulai perundingan. Insinyur Swan, yang belum pernah menghadiri perundingan peradilan prairi, tiadalah tahu siapa yang patut membuka pembicaraan itu. Dengan tergesa-gesa ia mengemukakan pendapatnya tanpa menunggu lebih dahulu apa pendapat orang-orang yang lebih banyak pengalamannya dalam soal peradilan prairi. Segera ia berkata: "Sudah tentu bedebah-bedebah ini harus mati, akan tetapi saya usulkan jangan hendaknya kita memboroskan mesiu yang mahal harganya. Kita sudah membawa tali dalam jumlah yang banyak sekali; itu dapat kita pergunakan untuk menggantung mereka seorang demi seorang pada pohon sekitar lembah ini. Saya yakin bahwa Anda berdua sependapat dengan saya." Ketua suku Apache tersenyum, akan tetapi tidak menjawab, oleh karena ia sudah biasa menyerahkan pembicaraan dalam hal-hal serupa itu kepada Old Shatterhand. Old Shatterhand segera memahami maksud Winnetou dan oleh sebab itu, maka ia mengangguk ke arah insinyur Swan dan sambil tertawa ia berkata: "Mr. Swan, saya sangat bergirang hati bahwa Anda rupa-rupanya telah dapat memahami pendirian kami. Tentu saja kami yakin seyakin-yakinnya, bahwa mereka akan mati, sebab sudahlah menjadi suratan manusia bahwa..." "Bagus, bagus!" demikian insinyur itu menyela. "Hukuman tembak benar-benar masih merupakan kehormatan bagi mereka; jadi mereka akan kita gantung, sehingga..." Tiba-tiba insinyur Swan berdiam diri, sebab Old Shatterhand telah menyela perkataannya dengan memberi isyarat agar ia jangan meneruskan perkataannya. Akan tetapi sebentar kemudian insinyur itu menyambung: "Ada apa? Mengapa Anda menyela saya?" "Untuk memperlihatkan kepada Anda betapa tidak enaknya apabila kita disela orang." "Apa maksud Anda?" "Tadi Anda telah menyela perkataan saya. Suatu peradilan savana adalah suatu hal yang penting, yang harus kita jalankan sungguh-sungguh. Karena itu tiada biasalah orang dengan segera dan dengan lancang sekali mengeluarkan pendapatnya sebelum lebih dahulu menanyakan kepada mereka yang lebih mengenal adat istiadat dan kebiasaan daerah Barat, bagaimana pendapat mereka." "Tetapi tadi telah Anda katakan bahwa Anda berdua sependapat dengan saya bahwa tawanan-tawanan itu harus mati. Bukankah begitu?" "Ya. Akan tetapi saya belum selesai mengucapkan pendapat saya. Sekiranya Anda tidak menyela saya maka Anda akan mengetahui apa sebabnya mereka harus mati. Maksud saya ialah hendak mengatakan: tentu saja kami yakin seyakin-yakinnya bahwa mereka akan mati, oleh karena sudahlah suratan manusia bahwa akhirnya ia akan mati." "O, jadi hanya karena itu saja?" "Ya." "Jadi mereka akan mati oleh karena setiap orang akhirnya akan mati juga, bukan oleh karena mereka telah mengancam nyawa kita!" "Tepat sekali!" "Hra! Bagaimanakah maksud Anda yang sebenarnya, Mr. Shatterhand?" "Akhirnya mereka akan mati juga, justru karena itu sudahlah nasib setiap orang. Akan tetapi kita tidak mempunyai hak untuk menyebabkan kematian mereka, atau lebih tepat lagi: Anda tidak mempunyai hak itu." "Mengapa tidak?" "Adakah mereka telah berbuat sesuatu terhadap Anda yang memberi Anda hak untuk memberi hukuman mati?" "O! Itu... Itu... Itu tidak," jawabnya dengan bimbang. "Kalau begitu Anda tidak pula mempunyai hak untuk menggantung mereka, Mr. Swan. Kami, yaitu Winnetou dan saya, sebenarnya mempunyai hak untuk membunuh Tokvi Kava, sebab ia sudah mencuri kuda dan bedil kami. Sungguhpun begitu kami telah memberi janji kepadanya tidak akan membunuh Tokvi Kava maupun prajuritnya." "Tiadakah Anda tergesa-gesa sekali dan terlalu lancang memberi janji itu, Sir?" "Pertanyaan Anda akan saya jawab dengan pertanyaan pula: sudah pernahkah Anda mendengar bahwa Winnetou dan Old Shatterhand memberi janji dengan tergesa-gesa atau lancang?" "Tidak, maafkanlah saya." "Kalau begitu tak usah kita mengadakan perundingan yang terlalu panjang, sebab kami berdua telah tahu hukuman apa yang akan kami jatuhkan kepada para orang Comanche dan saya kira Anda akan mau menerima alasan dan pertimbangan yang kami pandang adil." "Bagaimanakah pendapat Anda, Mr. Shatterhand?" "Mereka tidak akan kami bunuh, sekalipun ada alasan yang cukup pada kami untuk memberi mereka hukuman mati. Kita adalah orang yang ber-Tuhan; kita bukan pembunuh." "Baik! Lanjutkanlah keterangan Anda." "Tentu saja mereka patut mendapat hukuman, oleh karena mereka telah berbuat jahat. Hukuman yang paling baik dan yang paling adil ialah hukuman yang mengalang-alangi penjahat melaksanakan maksudnya yang jahat itu. Karena itu kita harus mencabut segala kesempatan atau kekuasaan yang akan memungkinkan mereka menyerang perkemahan Firewood dalam masa yang akan datang. Usaha itu dapat kita capai apabila mereka kami beri hukuman penyitaan tunggangan dan senjata mereka." "Ya, itu betul. Kini teranglah sudah bagi saya apa maksud Anda. Bagi siapakah benda-benda yang akan kita rampas itu?" "Bagi Anda dan anak buah Anda. Benda-benda itu boleh Anda pandang sebagai biaya peradilan atau sebagai upah bagi bantuan para pekerja Anda." "Baik sekali! Bagaimana dengan para penghuni perkemahan Firewood?" "Hanya mereka saja yang ikut membantu kita, boleh mendapat bagian." "Jumlah mereka sedikit sekali sehingga kami tidak akan menaruh keberatan memberi mereka bagiannya. Bagaimana selanjutnya?" "Mustang Hitam telah kami rampas jimatnya oleh karena ia sudah bersikap kurang ajar serta menghina kami, walaupun ia sudah ada dalam kekuasaan kami. Sesungguhnya prajurit-prajurit yang lain tak perlu kita singgung kehormatannya, akan tetapi oleh karena mereka telah meniru contoh ketua sukunya dan menghina kami juga, maka mereka akan mendapat hukuman yang sama: jimat mereka akan kami cabut juga." "Baik sekali, Sir! Apa yang disebutnya jimat itu adalah benda yang tidak ada artinya." "Pendapat Anda salah sekali. Jimat-jimat itu mempunyai arti keagamaan yang besar sekali. Bagi orang kulit merah jimat adalah benda yang keramat. Itu tidak dapat Anda fahami. Apabila kita merampas jimat mereka maka dengan perbuatan demikian tidak saja kita mengambil milik mereka yang paling berharga, melainkan dengan demikian kita mengalang-alangi mereka memasuki padang perburuan abadi." "Pshaw! Padang perburuan abadi! Itu patut kita tertawakan!" "Itu sekali-kali bukan suatu hal yang patut kita tertawakan. Kita orang Kristen percaya akan adanya sorga demikian juga orang Muslim; orang Hindu percaya akan Nirwana, demikian pun orang Indian percaya akan adanya padang perburuan abadi di mana mereka akan memperoleh kebahagiaan abadi di dunia akhirat. Hukuman yang akan kita jatuhkan itu adalah hukuman yang paling berat dan hukuman itu niscaya tidak akan kita jatuhkan sekiranya mereka tidak memberi penghinaan yang sekotor-kotornya kepada kami. Hukuman itu mempunyai alasan pendidikan dan akan berguna sekali bagi keamanan daerah ini. Mereka harus insaf bahwa kejahatan yang besar harus dihukum dengan hukuman yang berat pula dan mereka harus insaf pula bahwa mereka tiada dapat begitu saja menghina orang seperti kita. Apa yang terjadi di sini akan menjadi buah bibir sekalian orang kulit merah dan derajat mereka akan turun dalam mata sekalian suku orang Indian, tetapi sebaliknya kita akan lebih dihormati dan disegani oleh orang-orang kulit merah yang lain. Dapatkah saudara saya Winnetou menyetujui usul saya?" "Saudara saya orang kulit putih telah mengucapkan isi hati saya," jawab ketua suku Apache itu. "Apa yang hendak diperbuatnya sama benar dengan apa yang saya rencanakan. Orang-orang Comanche itu akan kita rampas jimatnya." "Akan tetapi jikalau benar belaka pendapat Anda, tiadakah mereka akan membalas dendam dengan cara yang sehebat-hebatnya?" tanya insinyur Swan. "Tentu saja mereka akan membalas, tetapi tidak kepada Anda melainkan kepada kami," jawab Old Shatterhand. "Mengapa begitu?" tanya Mr. Swan. "Justru karena kami yang merampas jimat mereka, maka kami pulalah yang akan menjadi sasaran pembalasan mereka. Orang-orang Comanche itu akan menanggung malu yang sebesar-besarnya, apalagi oleh karena mereka harus meninggalkan daerah ini dengan berjalan kaki. Dalam perjalanan itu mereka tidak dapat berburu karena tidak mempunyai senjata; paling banyak mereka hanya dapat menjerat binatang-binatang kecil saja. Selanjutnya mereka hanya dapat melepaskan laparnya dengan makan buah-buahan atau akar tumbuh-tumbuhan belaka. Karena itulah maka mereka tidak akan lekas sampai ke kampungnya. Dan setiba di kampungnya mereka tidak akan disambut dengan gembira oleh sesama sukunya, bahkan mereka akan dipandang sebagai orang yang hina oleh karena tidak mempunyai jimat. Untuk dapat memperoleh kedudukan prajurit kembali, mereka harus mencari jimat yang baru dan usaha itu akan memakan waktu yang lama sekali. Saya yakin bahwa mereka segan datang kembali ke tempat ini, di mana mereka menderita kekalahan dan mendapat noda yang besar. Akan tetapi celakalah apabila Winnetou atau saya jatuh ke tangan mereka kelak." "Adakah Anda takut?" "Takut? Sekali-kali tidak! Apabila di daerah Wild West ini orang harus merasa takut akan apa-apa yang dapat terjadi, maka tak dapat kita hidup dengan tenteram; selalu kita akan dikejar oleh rasa takut dan khawatir. Walaupun begitu tak boleh kita menutup mata untuk bahaya yang mengancam dari segala sudut. Nah, kini kita sudah mengambil keputusan. Kini kita sudah seia-sekata. Mr. Swan, masih hendakkah Anda menambahkan sesuatu kepada keputusan kita?" "Tidak! Tidak! Saya tidak berani lagi memajukan sesuatu," jawabnya dengan tertawa. "Dibandingkan dengan pendapat Anda segala usul saya selalu kedengaran sebagai usul orang bodoh. Hanya saya ingin mengemukakan satu pertanyaan; apakah yang akan kita perbuat dengan orang peranakan yang kita tawan di Rocky Mountains? Percaya jugakah ia akan jimat?" "Tidak. Kita beri dia hukuman dera, kemudian kita bebaskan." "Itu baik, Sir. Perkara mendera dia serahkan sajalah kepada kami. Anak buah saya tentu akan merasa gembira mendapat jarahan berupa kuda dan senjata. Sesungguhnya mereka tidak memerlukan tunggangan, akan tetapi kuda itu dapat kita angkut dengan kereta api ke tempat lain di mana kami dapat menjualnya. Uang yang kami peroleh dapat kami bagi-bagi." "O, ya. Lupa saya memberitahukan kepada Anda bahwa dua orang teman kami, yaitu Hobble Frank dan Droll, memerlukan tunggangan yang baik karena kuda mereka kurang serasi untuk membuat perjalanan jauh di daerah prairi ini. Saya berharap mudah-mudahan Anda tidak akan berkeberatan apabila mereka mau menukarkan kuda mereka dengan dua ekor kuda Indian yang bagus." "Tentu saja saya tidak menaruh keberatan. Mereka boleh memilih kuda yang paling bagus. Lagipula bahwa kami dapat menangkap orang-orang kulit merah itu, sekali-kali bukanlah jasa kami melainkan jasa Anda belaka. Saya kira bahwa perundingan kita kini sudah selesai." "Ya. Keputusan kita akan saya sampaikan kepada Tokvi Kava. Kita dapat mengharapkan kegaduhan yang luarbiasa mereka akan marah sekali dan akan meraung-raung serta memaki-maki, akan tetapi tidak perlu kita hiraukan." Old Shatterhand bangkit dan bersama-sama dengan Winnetou dan insinyur Swan ia pergi ke tempat di mana Tokvi Kava berbaring, sebelah menyebelah dijaga oleh Hobble Frank dan Droll. Frank yang selalu bersikap tidak sabar untuk mengetahui sesuatu, segera bertanya: "Nah, tuan-tuan hakim sudah selesai berunding. Apakah keputusan mahkamah Agung?" "Itu akan segera kau ketahui," jawab Old Shatterhand dengan singkat. Kemudian ia berpaling kepada ketua suku Comanche seraya berkata: "Mungwi Ekknan Makik boleh mendengar apa yang telah kami putuskan mengenai nasibnya dan nasib prajurit-prajurit Comanche." Tokvi Kava memalingkan mukanya sambil mengejapkan matanya, sebagai tanda bahwa apa yang didengarnya itu dipandangnya sebagai hal yang patut ditertawakan belaka dan tidak akan diacuhkan sama sekali. Sikap itu tentu saja tidak dihiraukan oleh Old Shatterhand, melainkan dengan suara yang keras sehingga dapat didengar oleh semua orang kulit merah ia berseru: "Orang-orang Comanche patut mendapat hukuman mati, karena mereka bermaksud hendak membunuh para penghuni perkemahan Firewood dan hendak mengambil scalp mereka, akan tetapi kami telah terlanjur menjanjikan akan menyelamatkan jiwa mereka dan janji itu akan kami pegang." Mendengar kata-kata itu Tokvi Kava segera meninggalkan sikap acuh tak acuh serta berseru: "Uf! Uf! Lepaskanlah ikatan kami dan bebaskanlah kami dengan segera agar kami dapat pergi!" "Anda tak usah tergesa-gesa benar, sebab itu tak ada gunanya. Barangsiapa tidak mempunyai tunggangan, patut menaruh sabar," demikianlah jawab Old Shatterhand dengan tenang. "Kami ada mempunyai tunggangan," jawab ketua suku Comanche itu dengan congkak, walaupun agak dengan bimbang juga. "Anda tidak mempunyai tunggangan lagi, sebab kuda dan segala senjata Anda kini sudah menjadi milik kami." "Anda hendak merampas kuda dan senjata kami?" demikian teriak Tokvi Kava. "Anda hendak menjadi pencuri?" "Diam!" jawab Old Shatterhand dengan suara yang menggertak. "Anda beserta anak buah Anda adalah penyamun dan pembunuh dan Anda sekalian telah kami taklukkan. Namun begitu saya tak hendak bersikap keras terhadap Anda, walaupun Anda telah berulang-ulang kali menghina saya dengan tiada mengindahkan peringatan saya. Anda tidak yakin bahwa sikap yang demikian itu tentu akan menimbulkan hukuman dan Anda terus saja memaki-maki dan menghina kami. Sikap yang tidak senonoh itu tentu saja harus dihukum pula. Masih beranikah Anda menyebut saya pencuri, Anda yang sejak saat ini bernama Mungwi Ekknan Makik?" "Anjing!" seru orang Indian itu. "Jangan sekali lagi engkau berani menyebutkan nama itu!" "Pshaw! Masih lebih daripada seribu kali lagi saya akan menyebutnya. Dan apabila sekali lagi saya mendengar kata "anjing" dari mulutmu maka engkau akan kusuruh beri pukulan sehebat-hebatnya. Engkau telah kehilangan jimatmu, karena itulah maka hanya hukuman pukulan saja yang serasi bagimu." "Saya akan membalas dendam, membalas dengan cara yang sebengis-bengisnya!" "Dengan cara bagaimana? Engkau hendak minta pertolongan sukumu? Itu tidak mungkin, sebab engkau niscaya tidak akan berani menampakkan dirimu kepada mereka!" "Saya mempunyai cukup banyak orang yang dapat saya suruh menyampaikan perintah saya kepada seluruh suku saya untuk menghancurkan Anda sekalian." "Tidak seorangpun akan berani pulang, sebab mereka semuanya akan kami rampas juga jimatnya." Tokvi Kava membuka mulutnya untuk menjawab, akan tetapi tidak ada suara ke luar dari mulutnya. Old Shatterhand menyambung: "Sesungguhnya mereka dapat meninggalkan tempat ini tanpa kehilangan jimat mereka, akan tetapi oleh karena mereka sudah menimbulkan amarah kami, maka mereka kami beri hukuman yang berat pula, yaitu jimat mereka akan kami lemparkan ke dalam api. Kalau hari sudah siang, kamu sekalian boleh meninggalkan tempat ini. Kamu boleh membawa jiwamu, sebab itu sudah saya janjikan; milikmu yang lain harus kamu tinggalkan, demikian juga kehormatan dirimu, sebab sejak saat ini engkau semua akan dipandang hina oleh seluruh sukumu, bahkan oleh kanak-kanak dan perempuan-perempuan tua. Saya telah selesai berbicara. Howgh!" Kini timbul kegemparan lagi, orang-orang kulit merah memekik-mekik, meraung-raung dan menggulung-gulungkan badannya, lebih-lebih ketika jimat mereka dirampas dan dilemparkan ke dalam api. Hukuman itu benar-benar merupakan suatu perhitungan yang bijaksana. Apabila seorang Indian kehilangan jimatnya, maka ia akan berusaha sekuat-kuatnya untuk memperolehnya kembali sebelum ia berusaha untuk mencari jimat yang baru. Sekiranya para pekerja kereta api menahan jimat mereka sebagai kenang-kenangan, maka orang-orang Comanche tentu tidak akan meninggalkan daerah ini, melainkan dengan diam-diam mereka akan mengamuk untuk merebutnya kembali Tetapi oleh karena jimat itu telah lenyap dimakan api maka tidak adalah gunanya lagi bagi mereka untuk tinggal di daerah ini. Hanya sebuah jimat saja yang tidak dilemparkan ke dalam api, yaitu jimat ketua suku Comanche yang disimpan oleh Old Shatterhand sebagai kenang-kenangan, walaupun ia tahu bahwa Mustang Hitam akan menjalankan segala usaha untuk memperolehnya kembali. Pembaca tentu saja dapat membayangkan betapa susahnya orang-orang kulit putih menguasai orang-orang Indian yang sedang memberontak itu. Akan tetapi ikatan mereka sedemikian eratnya sehingga mereka tak dapat berbuat apa-apa yang dapat menimbulkan bahaya bagi orang putih. Setelah kegemparan itu reda kembali maka Old Shatterhand memilih dua ekor kuda yang paling baik untuk diserahkan kepada Hobble Frank dan Droll. Ketika ia lalu di dekat tempat ketua suku Comanche maka Tokvi Kava itu membangkitkan badannya serta berseru: "Engkau tentu akan tertawa kegirangan sekiranya saya datang ke mari dengan menunggangi tunggangan saya Mustang Hitam. Betapa girang hatimu sekiranya kuda kesayangan saya itu menjadi milikmu. Akan tetapi kuda itu tidak jatuh ke tanganmu, kuda yang paling bagus di seluruh dunia. Kini aku yang tertawa!" "Salah! Saya lebih keras tertawa daripada engkau," jawab Old Shatterhand. "Bahwa engkau tidak menunggangi Mustang Hitammu ketika engkau datang ke mari, itulah bukti bahwa kudamu itu tidak kuat dan tidak dapat bertahan, sehingga sesungguhnya tidak ada harganya. Engkau boleh memiliki terus Tschatlo, kuda kesayanganmu!" Tschatlo artinya katak. Dengan demikian maka Old Shatterhand telah menghina Tokvi Kava dengan membandingkan kuda kebanggaannya dengan seekor katak. Maka Tokvi Kava menjawab dengan marah: "Tutuplah mulutmu yang kotor itu! Engkau sedang dikuasai oleh Manitou yang jahat. Engkau iri hati, sebab kudamu dan kuda Winnetou tidak semasyhur kuda saya. Dibandingkan dengan kuda saya tungganganmu itu tak lebih daripada seekor keledai!" Old Shatterhand tidak menjawab melainkan segera pergi. Setelah dipilihnya dua ekor kuda yang paling bagus, maka kuda selebihnya beserta segala senjata orang Indian dibagi-bagi antara para peserta Old Shatterhand secara undian. Sedang itu terjadi, Hobble Frank dan Droll dan kedua Timpe duduk berkumpul; mereka tidak mengharapkan apa-apa lagi dan kini mendapat kesempatan untuk mempercakapkan segala yang telah terjadi serta merundingkan apa yang hendak mereka kerjakan seterusnya berhubung dengan rencana perjalanan mereka sendiri. Oleh karena Old Shatterhand dan Winnetou hendak menyertai kedua Timpe dan Frank serta Droll hendak ikut pula, maka dengan kata yang muluk-muluk Frank menjanjikan bantuannya kepada Cas dan Has. "Saya ialah Heliogabalus Morpheus Eduard Franke," katanya, "dan Anda akan mengenal saya lebih baik lagi. Rumah saya terletak pada tepi sungai Elbe dan terkenal sebagai villa Lemak Beruang, sebab di daerah Amerika ini tidak ada seekor beruang yang menjadi gemuk tanpa akan menjadi mangsa peluru saya." "Kalau begitu maka di sini sudah tidak ada lagi beruang yang gemuk!" sela Cas. "Jangan berkata sebodoh itu. Sudah pernahkah engkau melihat seekor beruang?" "Tentu saja." "Ya, tentu saja! Yaitu dalam sebuah buku gambar. Tetapi saya, saya telah menembaknya!" "Menembak di dalam buku gambar juga?" "Diam, jangan selalu menyela perkataan saya." Mereka tentu akan bertengkar mulut tanpa berkesudahan, sekiranya pada saat itu Winnetou tidak dengan tiba-tiba membidikkan bedilnya ke atas serta menembak. Old Shatterhand sedang mengadakan undian senjata. Dengan cepat ia berbalik seraya bertanya: "Mengapa Anda menembak?" "Ada orang menjengukkan kepalanya di balik tanah batu," jawab Winnetou. "Tembakan Anda mengena?" "Tidak, kepala orang itu menghilang sebelum tembakan saya meletus." "Anda melihat dia dengan jelas?" "Ya." "Apa yang Anda lihat?" "Ia bukan seorang kulit putih." "Jadi seorang Indian?" "Saya tidak tahu benar. Kepala itu hanya sebentar saja kelihatan." "Hra! Di sebelah sana tidak ada orang dari kelompok kita. Saudara saya orang kulit merah hendaknya mengikuti saya ke atas. Orang itu tentu tidak akan menunggu sampai kita tiba di atas, akan tetapi sungguhpun begitu kita harus hati-hati, sebab dari tempat yang tinggi itu mudah sekali ia menembak ke arah kita." Mereka segera mendaki dan membawa kedua Timpe untuk berjaga di atas. Ketika mereka tiba kembali di bawah dan Frank bertanya apa hasil penyelidikan mereka, maka mereka menjawab bahwa mereka tidak menemukan seorangpun. Daerah di atas lembah itu ternyata gelap sekali dan usaha mencari jejak tidak akan berguna walaupun sekiranya tempat itu terang, sebab tanah dan rumput di sana telah penuh dengan jejak para pekerja kereta api. Kini fajar mulai menyingsing. Mereka hendak melepaskan orang-orang Indian, akan tetapi tidaklah bijaksana apabila orang-orang kulit merah itu dibebaskan pada tempat dekat perkemahan itu. Walaupun mereka tidak bersenjata, namun oleh karena jumlah mereka besar, masih dapat pula mereka membahayakan bagi para penghuni perkemahan Firewood. Oleh karena itu maka mereka memutuskan untuk membawa para tawanan itu jauh-jauh masuk ke dalam prairi dan di sana baru mereka akan dibebaskan sedikit demi sedikit. Dalam tempat terbuka itu mereka dapat mengamat-amati orang-orang Comanche sampai jauh sekali. Orang-orang kulit merah itu niscaya akan menyangka bahwa mereka akan diikuti dari belakang dengan diam-diam. Karena itu mereka tentu tak akan berani kembali dengan diam-diam ke Firewood. Insinyur Swan pergi ke perkemahan untuk mengirimkan kawat ke Rocky Ground, meminta supaya kereta api dikirimkan kembali untuk menjemput para pekerja. Dalam pada itu Winnetou dan Old Shatterhand memberi petunjuk kepada para pekerja kereta api tentang cara bagaimana mereka hendaknya melepaskan para tawanan. Ikatan kaki mereka akan dilepaskan akan tetapi tangannya tetap terikat di belakang punggungnya. Sesudah itu setiap orang diikatkan pada sanggurdi tunggangan setiap pekerja yang akan membawanya lekas-lekas ke prairi terbuka. Old Shatterhand dan teman-temannya mengikuti mereka kira-kira setengah jam lamanya sampai mereka meninggalkan daerah hutan belukar. Sampai ke tempat yang terbuka mereka balik kembali untuk menunggu kedatangan kereta api. Kini insinyur Leveret menampakkan diri. Demi ia mendengar bagaimana Old Shatterhand menghukum orang-orang Comanche maka segera ia berkata bahwa keputusan itu salah belaka. Seharusnya orang-orang Indian itu dihukum gantung. Selanjutnya ia memandang tidak adil bahwa ia tidak mendapat bagian dari jarahan. Akan tetapi dengan segera ia mendapat jawaban yang keras dan tegas dari teman sejawatnya Mr. Swan, sehingga ia pergi. Demi kereta api dari Rocky Ground datang, maka semuanya naik. Kedua ekor kuda milik Hobble Frank dan Droll dimasukkan ke dalam gerbong barang. Setelah kereta api berangkat maka Hobble Frank berpaling kepada Old Shatterhand serta bertanya: "Kini saya masih mempunyai sebuah permintaan yang jangan hendaknya Anda tolak." "Permintaan apakah itu?" "Kini kita masih harus menyelesaikan urusan Ik Senanda. Bukankah Anda telah mengatakan bahwa ia akan mendapat hukuman dera dan sesudah itu akan dibebaskan?" "Ya." "Dengarkanlah, Mr. Shatterhand. Pada hemat saya itu bukan hukuman, setidak-tidaknya hukuman itu tidak memadai. Setiap anak sekolah sudah pernah mendapat hukuman dera, walaupun kesalahannya tidak dapat dibandingkan dengan kejahatan yang telah diperbuat oleh orang Mestis itu. Setiap anak sudah pernah dipukuli juga oleh ayahnya apabila ia nakal. Patutkah orang peranakan itu kita bandingkan dengan seorang anak yang nakal? Maka saya bertanya kepada Anda Mr. Shatterhand, tidak adakah Anda mempunyai rasa keadilan menurut undang-undang?" "Katakanlah dengan jelas apa yang hendak kau usulkan." "Itu niscaya sudah Anda fahami, sebab Anda adalah orang yang cerdik. Setiap orang yang pernah mempelajari ilmu hukum seperti saya ini, tentu tahu bahwa dalam menetapkan berat hukuman hakim harus memperhitungkan keadaan-keadaan yang meringankan dan keadaan-keadaan yang memberatkan. Dalam menjatuhkan hukuman dera bagi Ik Senanda, kita dapat memperhitungkan pula keadaan-keadaan yang meringankan dan keadaan-keadaan yang memberatkan, akan tetapi dalam hal ini sedikitpun saya tidak melihat adanya keadaan-keadaan yang meringankan, melainkan hanya ada keadaan yang memberatkan belaka." "O, jadi yang kau maksud ialah agar kita mempergunakan tongkat pemukul yang berat?" "Bukan itu maksud saya. Dari pengalaman saya sendiri saya tahu bahwa tongkat yang kecil dapat menimbulkan sakit yang lebih hebat daripada tongkat yang besar. Tongkat yang besar hanya mengenai kulit bagian luar saya, tetapi tongkat yang kecil dapat menusuk sampai ke bagian-bagian yang lebih dalam, yang terletak di bawah kulit. Jadi mempergunakan tongkat yang besar boleh jadi berarti meringankan hukuman. Tidak, maksud saya lain benar. Hukuman itu harus diperberat dengan menimbulkan rasa takut yang sehebat-hebatnya. Ik Senanda kini ada di dalam sumur. Bagaimana kita dapat memperberat hukumannya? Sumur itu akan kita isi dengan air hingga air itu sampai kepada bibirnya. Niscaya ia akan mengira bahwa kita hendak membuat ia mati lemas. Dengan begitu bukan buatan takutnya. Kita biarkan bedebah itu menderita sakit kira-kira satu jam lamanya. Sesudah itu kita tarik dia ke atas. Karena pakaiannya basah kuyup tentu ada kemungkinan bahwa ia akan mendapat selesma. Itu bukan maksud kita. Maka ia akan kita pukuli sampai pakaiannya menjadi kering. Nah, itulah hukuman yang adil, hukuman yang setimpal baginya, hukuman yang sesuai dengan ilmu hukum dan sesuai dengan undang-undang!" Mendengar keterangan yang panjang lebar itu temannya tertawa gelak-gelak. Hobble Frank menjadi marah seraya berkata: "Mengapa Anda tertawa. Tiadakah Anda mempunyai rasa hormat terhadap orang yang tahu ilmu hukum, seorang sarjana yang jarang didapat bandingannya di daerah Barat ini?" Teman-temannya masih tertawa juga. Karena itu ia berpaling kepada Old Shatterhand sambil bertanya: "Bagaimana, Mr. Shatterhand? Tiada setujukah Anda dengan usul saya?" "Ya, Frank sahabatku. Saya setuju." Kini Hobble Frank melihat ke sekelilingnya dengan muka yang berseri-seri, yang menyatakan kebanggaan bahwa usulnya disetujui oleh pemimpinnya. Dalam pada itu kereta api telah masuk ke stasiun Rocky Ground. Semuanya berlangsung dengan selamat, hanya mereka mengalami kesukaran ketika mereka harus menurunkan kedua ekor kuda milik Hobble Frank dan Droll, sebab kuda Indian itu tidak biasa kepada alat pengangkutan yang modern. Tetapi dengan bantuan orang-orang yang ditinggalkan di stasiun Rocky Ground akhirnya kuda itu dapat diturunkan tanpa mendapat luka atau cacat sedikitpun. Demi insinyur Swan bertanya kepada pegawai-pegawainya yang tidak ikut serta ke Gua Birik, adakah semuanya beres dan tidak ada terjadi hal-hal yang istimewa, maka seorang dari mereka menggaruk-garuk kepalanya seraya menjawab dengan agak malu: "Ya, Sir. Oleh karena Anda menanyakannya, maka terpaksalah saya memberitahukan bahwa ada sesuatu yang terjadi. Ada seekor kuda dicuri orang." "Kuda yang mana?" tanya semua orang serempak. Pembaca tentu mengerti bahwa pemberitahuan itu sangat mengejutkan mereka semua. Oleh karena para pekerja kereta api tidak mempunyai kuda, maka kuda yang dicuri itu tak dapat tiada tentu salah seekor daripada tunggangan keenam pemburu prairi. Sekiranya kuda itu tunggangan Winnetou atau Old Shatterhand, maka peristiwa itu merupakan suatu bencana. Karena itulah maka dengan hati yang berdebar-debar sekali orang menantikan jawab pekerja tadi. "Kuda putih tuan-tuan." Lega hati semuanya mendengar keterangan itu. Frank bertanya: "Adakah yang Anda maksud kuda putih yang berbintik-bintik hitam lehernya sebelah kanan?" "Ya, Sir." "Alhamdulillah," serunya. "Droll, itu kudamu yang selalu tergelincir dan yang menyebabkan engkau kemasukan pulau Ischia. Syukur! Kuda itu boleh dicuri orang, sebab Droll sudah memperoleh gantinya yang jauh lebih baik." "Jangan engkau terlalu lancang mengutarakan pendapatmu, Frank," demikian Old Shatterhand menegur sahabatnya. "Dalam hal ini yang penting bukanlah kuda, melainkan pencurinya. Saya sudah dapat menduga siapa yang mencuri kuda itu. Bukankah itu tawanan kita orang peranakan, yang kita simpan di dalam sumur?" "Ya, Sir," jawab orang itu dengan kemalu-maluan. "Bagaimana ia mungkin ke luar dari sumur? Itu hanya mungkin oleh kelalaian Anda." "Kelalaian itu akan saya hukum berat!" seru insinyur Swan. "Saya sudah menempatkan seorang penjaga di tepi sumur. Di mana penjaga itu, saya tidak ada melihat dia." "Karena sangat takut ia sudah melarikan diri dan baru akan kembali apabila amarah Anda sudah reda." "Kalau begitu ia harus menunggu lama sekali. Apabila ia kembali, ia akan saya pukuli sedemikian hebatnya sehingga tidak akan dilupakannya seumur hidupnya. Kini pandu itu sudah lepas, akan tetapi boleh jadi ia belum jauh dan masih dapat kita susul. Marilah kita bersiap-siap untuk..." "Sabar, Sir, sabar!" demikian Old Shatterhand menyela. "Tidak ada gunanya kita berbuat terlalu terburu-buru. Jikalau dugaan saya tidak salah maka ia sudah sedemikian jauhnya sehingga kita tidak akan dapat menyusulnya. Saya kira ia pergi ke perkemahan Firewood." "Justru ke tempat di mana ia tahu bahwa kami ada di sana? Itu mustahil! Gila dia apabila berbuat begitu." "Pshaw, ia tahu bahwa orang-orang Comanche ada dalam bahaya. Ia pergi ke sana untuk memberitahukan bahaya itu kepada neneknya, akan tetapi untung sekali ia terlambat datang. Bagaimana juga kini saya tahu bahwa dialah orang yang dilihat dan ditembak oleh Winnetou di Gua Birik." "Ya, itu pendapat saya juga," kata ketua suku Apache. "Saya hanya melihat dia sesaat saja. Betul saya segera mengangkat senjata saya, akan tetapi demi ia melihat bahwa saya membidikkan bedil saya kepadanya, maka dengan segera ia menarik kepalanya sebelum tembakan saya meletus." "Ya, tembakan Anda tiada pernah menyasar, akan tetapi sekali ini waktu untuk menembak dengan tepat adalah terlalu singkat, tetapi biarlah bedebah itu lepas, kelak ia tentu akan jatuh ke tangan kita kembali. Kini ia tahu bahwa orang-orang Comanche telah kita bebaskan; tentu saja ia sudah menggabungkan diri dengan mereka. Jikalau kita dengan sungguh-sungguh hendak menangkap dia kembali, tentu usaha kita itu akan segera berhasil. Tetapi apa gunanya kita membuang-buang waktu dan membuang-buang tenaga? Bukankah ia akan kita bebaskan lagi. Hanya sekali ini ia belum mendapat hukuman dera, akan tetapi hukuman itu kita sediakan saya untuk waktu yang lain." "Namun begitu sedih juga hati saya," kata Frank, "maksud saya tidak sampai." "Engkau harus belajar menahan diri dan menaruh sabar, Frank sahabatku. Kini saya ingin mengetahui satu hal lagi: bagaimanakah orang peranakan itu dapat meloloskan diri dari sumur. Coba ceriterakanlah kepada kami!" Pekerja kereta api yang ditanyai itu menjadi takut dan iapun menjawab: "Itu bukan salah saya, Sir. Anda hendaknya mempercayai saya. Itu kesalahan Clifton yang mempunyai tugas menjaga tawanan. Ia telah tertipu oleh orang Tionghoa." "Orang Tionghoa? Orang Tionghoa dari mana?" "Dua orang Tionghoa dari Firewood, Mr. Shatterhand." "O, niscaya tak lain daripada pencuri bedil kami. Adakah mereka berkuncir?" "Saya tidak melihat kuncit, akan tetapi mereka mempunyai banyak uang, dollar, tengahan dollar dan perempat dollar. Dengan uang itu mereka pergi ke kantin dan membeli apa-apa yang dikehendakinya." "Dan Anda tentu diajak minum brandy, bukankah begitu?" "Bukan saya, melainkan Clifton, Sir. Ketahuilah bahwa Clifton dahulu bekerja di perkemahan Firewood dan dengan demikian mengenal kedua orang Tionghoa itu. Tetapi sebaiknya saya ceriterakan dengan teratur apa yang sudah terjadi." "Itu baik. Saya ingin mengetahui adakah Anda sendiri lalai atau tidak. Katakanlah dengan jujur apa yang sebenarnya terjadi." "Saya tak dapat berbuat lain daripada mengisahkan apa-apa yang benar-benar terjadi, Sir. Hari sudah hampir malam dan sudah agak gelap. Pekerjaan kami telah selesai, ketika kedua orang Tionghoa itu datang. Clifton duduk di sebelah sumur. Tali pengikat tawanan itu ditambatkannya pada batang pohon di dekat sumur. Kedua orang Tionghoa melihat ia duduk di sana dan oleh karena mereka kenal akan dia maka mereka datang menghampirinya untuk memberi salam. Kami mengikuti pula sebab kami ingin benar mengetahui untuk apa orang-orang Tionghoa itu datang ke Rocky Ground. Kami mendengar dari mereka bahwa mereka telah meninggalkan pekerjaan mereka di perkemahan Firewood oleh karena mereka mendapat perlakuan yang tidak baik dan oleh karena mereka tidak merasa puas dengan upah mereka yang terlalu kecil. Mereka sedang mencari pekerjaan di tempat lain." "Dan Anda percaya?" tanya Old Shatterhand. "Kami tidak mempunyai alasan untuk menduga bahwa mereka berdusta." "Alasan itu ada! Bukankah mereka mandor orang-orang Tionghoa? Bukankah itu Anda ketahui?" "Ya." "Nah, sebagai mandor upah mereka jauh lebih besar daripada upah teman-temannya. Lain daripada itu Anda harus mengerti bahwa apabila mereka benar-benar minta berhenti karena tidak puas dengan upah mereka, maka orang-orang Tionghoa yang lainpun akan minta berhenti juga." "Itu betul Sir. Tetapi tidak seorangpun dari kami memikirkan hal itu." "Itu bukan suatu bukti daripada kecerdikanmu." "Boleh jadi. Kami bukan orang yang terpelajar. Anda tidak boleh mengharapkan dari kami bahwa kami dapat berpikir sejauh itu. Lagipula soal mereka tidak berapa kami hiraukan, oleh karena mereka tidak bermaksud tinggal di sini, melainkan akan meneruskan perjalanannya ke arah Timur." "Itu dapat saya fahami. Mereka telah kehilangan kuncitnya, sehingga menanggung malu yang besar. Jadi mereka akan pergi ke tempat di mana mereka tidak menjumpai orang Tionghoa. Teruskanlah laporanmu!" "Mereka hendak menunggu kedatangan kereta api serta pergi ke kantin dan minta tempat untuk bermalam. Sebagai telah saya katakan tadi, mereka mempunyai uang; karena itu mereka memesan minuman dan dengan demikian mereka mendapat kesempatan bercakap-cakap dengan kami. Kami ada mengatakan kepada mereka bahwa Anda telah datang ke mari dan kini telah pergi ke Firewood untuk melindungi penghuni perkemahan itu terhadap serangan orang-orang Comanche. Mereka heran sekali mendengar berita kami. Rupa-rupanya mereka tidak menyukai Anda dan Mr. Winnetou; kesimpulan itu saya peroleh dari percakapan mereka." "Itu tidak mengherankan. Mereka telah mencuri milik kami dan mendapat hukuman yang setimpal. Karena itulah maka mereka meninggalkan Firewood. Mereka mendengar bahwa kami berdualah yang telah menangkap orang Mestis itu. Karena itulah maka terlintas pada pikiran mereka untuk membebaskan tawanan itu sebagai pembalasan terhadap kami." "Ya, saya kira mereka hendak membalas dendam terhadap Anda. Boleh jadi juga mereka berbuat begitu karena mereka bersahabat dengan pandu itu ketika mereka bersama-sama bekerja di Firewood. Pendeknya, mereka memberi Clifton minuman, brandy sebotol penuh, kemudian ditambah lagi, sesudah itu mereka pergi menemani Clifton di tempat penjagaannya. Lama sekali mereka tinggal di sana. Kemudian mereka masuk kembali, akan tetapi kini mengambil tempat sedemikian sehingga kami terpaksa menutup pintu. Dengan begitu kami tidak dapat melihat ke luar, ke tempat kuda ditambatkan. Tidak lama kemudian kami mendengar kuda meringih-ringih, mendengus-dengus dan mendepak-depak. Kami segera pergi ke luar, walaupun kedua orang Tionghoa itu berusaha menenteramkan hati kami dan mengatakan bahwa bunyi kuda itu sedikitpun tidak mencurigakan. Kami melihat bahwa kedua kuda hitam telah lepas dari tambatannya dan kuda putih yang berbintik-bintik lehernya sudah hilang. Kami melihat pula bahwa kuda putih itu tidak melepaskan dirinya, melainkan dibawa atau dicuri orang. Tetapi oleh siapa? Kami semuanya ada belaka, kecuali Clifton yang menjaga di dekat sumur. Maka kami berlari-lari pergi ke tempatnya. Di sana Clifton kami dapati berbaring di tanah. Ia mabok semabok-maboknya dan di sebelahnya terletak tali pengikat tawanan kita. Lagipula kami melihat bahwa tangan dan kaki Clifton telah terikat. Anda tentu maklum betapa kami terkejut. Clifton kami bangunkan dan kami tanyai, akan tetapi ia tidak dapat memberi jawab yang terang; rupa-rupanya ia tidak sadar akan keadaan dirinya. Kemudian kami menyelidiki keadaan di dalam sumur. Saya diturunkan dengan tali ke dalam sumur dan sampai di bawah saya saksikan sendiri apa yang telah kami khawatirkan yakni tawanan kami sudah hilang." "Sekarang semuanya sudah jelas bagi saya," kata Old Shatterhand. "Ketika Clifton sudah mabok sama sekali, maka tawanan itu ditarik ke atas oleh kedua orang Tionghoa dan dilepaskan dan ikatannya. Kemudian kedua orang Tionghoa itu kembali ke kantin dan dengan akal yang cerdik sekali telah mengusahakan agar pintu kantin ditutup. Dengan begitu mereka memberi kesempatan kepada Mestis untuk mencuri kuda. Gelapkah tempat kuda itu?" "Tidak, tempat itu diterangi oleh sebuah lentera." "Karena itulah maka ia dapat melihat kuda mana yang paling baik dan sebagai halnya dengan neneknya ia telah memilih kuda Mr. Winnetou dan kuda saya. Kuda itu telah dilepaskannya dari tambatannya, akan tetapi memberi perlawanan serta membuat gaduh. Agar jangan membuang-buang waktu maka diambilnya sembarang kuda yang lain yang tidak memberi perlawanan. Kuda itu ialah kuda putih milik Mr. Droll." "Cocok, Sir, kuda putih itu yang terdekat pada pintu." "Ia telah memilih kuda yang paling buruk, akan tetapi ia seorang penunggang kuda yang ulung dan daerah ini dikenalnya baik. Karena itulah maka ia telah mendapatkan jalan ke Gua Birik dalam keadaan gelap gulita. Apa kata kedua orang Tionghoa itu setelah tawanan kita melarikan diri?" "Mereka tidak mengatakan apa-apa. Ya, sebenarnya mereka ada bercakap-cakap dalam bahasa yang tidak kami fahami dan setelah kami kembali dari tempat Clifton dan tempat kuda, maka kedua orang Tionghoa itu tidak kami dapati lagi di tempatnya." "Ke mana mereka pergi?" tanya insinyur Swan. "Itu tidak kami ketahui, sebab hari sudah gelap sekali." "Kurang ajar! Mereka itu harus kita tangkap!" "Ah, biarkan saja, Mr. Swan!" sahut Old Shatterhand. "Mereka tidak penting. Pekerjaan kita yang terpenting telah berhasil baik: kita telah menyelamatkan para penghuni perkemahan Firewood tanpa mendapat luka sedikitpun. Yang lain-lain itu tidak penting sama sekali. Janganlah kita membuang-buang waktu kita yang berharga untuk mengejar mereka." "Hm! Sebenarnya tangan saya gatal sekali, akan tetapi saya insaf juga bahwa pendapat Anda benar, Mr. Shatterhand. Baiklah, kita biarkan saja mereka melarikan diri. Akan tetapi si Clifton akan mendapat upahnya! Di mana ia sekarang? Tahukah Anda?" "Tidak," jawab pekerja kereta api itu. "Setelah tidur beberapa jam lamanya, ia sekonyong-konyong bangun demi ia mendengar dari kami dengan cara bagaimana ia telah tertipu oleh kedua orang Tionghoa itu, maka bukan mainlah terkejut dan takutnya. Ia memaki-maki, akan tetapi tidak ada gunanya sama sekali. Kemudian ia berkata bahwa ia akan menyembunyikan diri dan tidak akan kembali sebelum amarah Anda sudah reda. Ia mengambil barang-barang miliknya lalu pergi." "Itu hendaknya Anda alang-alangi." "Kami tidak mempunyai hak untuk menahan dia, bukankah begitu Sir? Ia bukan seorang penjahat dan kami bukanlah polisi." "Tepat," sela Old Shatterhand. "Barangkali ia tidak akan balik kembali dan barangkali lebih baik begitu. Apa gunanya seorang pekerja yang tak mempunyai rasa tanggungjawab bagi insinyur Swan. Dan apabila ia kembali, Mr. Swan, baiklah ia Anda marahi sekeras-kerasnya, akan tetapi jangan ditambah dengan hukuman yang lain. Jangan Anda mengotorkan tangan Anda pada orang sebodoh itu. Marilah kita menengok kuda kami; sesudah itu kita makan lalu tidur, semalam suntuk kami tidak mendapat kesempatan memicingkan mata. Besok pagi-pagi benar kami akan minta diri kepada Anda." "Mengapa tergesa-gesa sekali?" tanya insinyur Swan. "Ketahuilah bahwa saya girang sekali menjadi tuan rumah bagi Anda sekalian." "Itu kami tahu. Keramahan Anda akan selalu kami kenangkan Sir, akan tetapi kini tidak ada alasan lagi bagi kami untuk tinggal lebih lama lagi di tempat ini dan walaupun kami tidak tergesa-gesa benar, namun bukanlah kebiasaan kami untuk tinggal lebih lama pada suatu tempat daripada yang kami perlukan." "Setuju sekali," seru Cas. "Kami harus pergi ke Santa Fe. Kami mencari saudara sepupu kami Nahum Samuel Timpe yang harus kami paksa menyerahkan warisan yang menjadi hak kami. Karena ia rupa-rupanya seorang penipu, maka niscaya ia tidak akan lama tinggal pada satu tempat. Jikalau kita membuang-buang waktu di sini, maka saya khawatir kalau-kalau ia sudah pergi apabila kita sampai ke Santa Fe. Bukankah begitu, Has?" "Tentu saja," jawab Has. "Makin cepat kita memperoleh kembali uang kita, makin baik bagi kita. Untung benar Mr. Shatterhand dan Mr. Winnetou akan menyertai dan melindungi kita. Dengan begitu saya yakin bahwa usaha kita akan mendapat sukses." Sedang kedua Timpe berbicara itu, Frank dan Droll masih berdiri di dekatnya. Yang lain-lain telah masuk ke dalam stasiun. Oleh karena Winnetou dan Old Shatterhand tidak dapat mendengar percakapan mereka, maka Hobble Frank segera mempergunakan kesempatan yang baik itu untuk menonjolkan dirinya. Katanya: "Saya tidak mengerti mengapa Anda selalu menyebut-nyebut nama orang lain. Rupa-rupanya keluarga Timpe itu selalu berat sebelah." "Berat sebelah bagaimana?" "Berat ke sebelah Old Shatterhand dan Winnetou. Anda selalu memuji-muji mereka, Anda selalu mengharapkan pertolongan mereka, tetapi tidak pernah menoleh ke arah saya. Rupa-rupanya Anda tidak mempercayai saya." "O, kami percaya kepada Anda, Mr. Frank," jawab Has dengan gesa-gesa. "Itu tidak terbukti Mr. Hasael Benyamin Timpe. Kemarin saya sudah turun dari singgasana saya serta merendahkan diri dengan menawarkan bantuan saya kepada Anda. Saya telah menyatakan bahwa saya akan membela kepentingan Anda, bahwa saya akan melindungi Anda sebagai orang tua melindungi anaknya. Selanjutnya saya telah meyakinkan Anda bahwa kepentingan Anda lebih berharga bagi saya daripada jiwa saya sendiri. Akan tetapi Anda mengabaikan tawaran saya; Anda selalu menonjol-nonjolkan jasa orang lain! Jikalau Anda terus berbuat begitu, maka tawaran saya boleh jadi akan saya cabut kembali." Cas segera menepuk-nepuk bahu Hobble Frank seraya berkata: "Mr. Frank yang baik hati, tidak ada gunanya Anda marah kepada kami. Anda telah kami kenal baik dan kami tahu betapa besar manfaat yang akan kami peroleh dari bantuan Anda." "Jadi Anda tahu dan Anda sudah insaf? Tetapi mengapa Anda selalu menyebut-nyebut nama Old Shatterhand dan Winnetou, tidak sekali juga menyebut nama saya?" "Oleh karena sudahlah sesuatu yang wajar bahwa bantuan Anda dapat kami andalkan dan akan memberi manfaat yang sebesar-besarnya. Bukankah maksud baik Anda tidak perlu kami sangsikan?" Wajah Hobble Frank berseri-seri; ia melambaikan tangannya seakan-akan hendak melindungi kedua orang Timpe seraya berkata: "Jangan khawatir, Mr. Timpe. Anda memberi saya kehormatan yang terlalu besar. Anda tahu bahwa saya selalu rendah hati dan hanya dengan rasa segan saya mau menerima pujian Anda. Sebaliknya tak perlu Anda bersikap terlalu rendah hati untuk mengucapkan perasaan Anda kepada saya. Anda boleh diumpamakan biri-biri yang memerlukan gembala dan sekali lagi saya menyatakan kesediaan saya untuk menjadi gembala Anda. Kemana Anda pergi, Anda selalu kami ikuti dan kami amat-amati agar keamanan dan kepentingan Anda terjamin." "Terima kasih, Mr. Frank. Segala ucapan Anda kami setujui," jawab Cas. "Baiklah! Marilah kita kini mengikat tali persahabatan yang kokoh. Peganglah masing-masing tangan kiri dan tangan kanan saya, agar Anda dapat saya angkat. Itu adalah upacara yang khidmat yang akan mengikrarkan persahabatan yang kekal." Demikianlah maka Frank yang kecil badannya itu dengan susah payah mengangkat kedua orang Timpe sambil mengucapkan ikrar persahabatan. VI. BONANZA DARI HOAKA Pada suatu tempat bukit Sierra Moro bertemu dengan kepanjangan pegunungan Raton. Di sana, di tepi sebuah sungai kecil berbaringlah dua orang Indian. Menilik air mukanya maka yang seorang rupa-rupanya sudah lanjut usianya boleh jadi sudah lebih daripada enampuluh tahun. Kepalanya diselubungi dengan sehelai kulit binatang, seakan-akan ada sesuatu yang disembunyikannya. Pipinya cekung dan air mukanya menunjukkan kekesalan hati. Di sebelahnya terletak sebuah bedil perburuan. Yang seorang lagi belum seberapa tua; rambutnya jarang tetapi panjang dan disanggulkan di atas kepalanya. Wajahnya menunjukkan perangai yang licik dan tidak jujur. Pada ikat pinggangnya terselip sebuah pisau. Kedua orang kulit merah itu tidak ada membawa senjata lain kecuali yang tersebut tadi. Keadaan tubuhnya menunjukkan bahwa sudah beberapa lamanya mereka menderita lapar dan dahaga. Pakaiannya sudah kumal dan pada beberapa tempat sudah koyak-koyak, seolah-olah mereka tidak mendapat kesempatan untuk menjahitnya atau menambalnya. Sepatu mocassin mereka sudah hampir hancur. Rumput yang tumbuh sebelah-menyebelah sungai itu sudah habis diinjak-injak orang. Itu membuktikan bahwa kedua orang kulit merah itu lama sekali berjalan hilir mudik di tempat itu. Sebuah kulit 'kalebas' yang terbuang di tanah menunjukkan bahwa mereka terpaksa melepaskan laparnya dengan memakan buah tersebut. Apabila seorang Indian makan buah 'kalebas', maka itu adalah suatu bukti bahwa ia menderita lapar yang hebat sekali. Indian yang tua menjenguk ke dalam air sambil melamun. Beberapa saat kemudian ia menegakkan kepalanya lalu berkata: "Uf, ada ikan di sungai ini; akan tetapi mustahil kita dapat menangkapnya dengan tangan. Kita tidak mempunyai kail, tidak mempunyai alat-alat apapun yang dapat kita pergunakan untuk menangkap ikan. Perut saya sakit; saya akan menjadi sakit karena terpaksa memakan 'kalebas'." "Lapar sayapun hampir tidak tertahan. Sekiranya kita dapat menangkap anak bison, maka rasa-rasanya dagingnyapun belum dapat menghilangkan lapar saya," demikian Indian yang muda itu mengeluh. "Ya, kita sudah ditinggalkan oleh Manitou," kata Indian tua itu sambil menggeretakkan giginya. "Tokvi Kava, ketua suku Comanche yang masyhur, yang ditakuti oleh seluruh bangsa Indian, kini terpaksa menderita lapar! Siapakah yang akan percaya?" "Dan salah siapakah itu? Salah Winnetou dan Old Shatterhand, kedua anjing keparat itu. Kebuasan mereka tidak akan saya lupakan dan tidak akan saya ampuni!" Ya, pembaca tentu sudah dapat menerkanya: Indian yang tua itu ialah Tokvi Kava atau Mustang Hitam dan Indian yang menemaninya ialah seorang anak buahnya yang senasib dengan dia. Ketua suku Comanche itu menampakkan wajah yang mengandung kebencian yang tak terperikan ketika ia menjawab: "Kedua bangsat itu harus jatuh ke tangan kita, mereka pasti akan jatuh ke tangan kita, sebab kita tahu ke mana mereka pergi. Kita akan mencegat mereka dan akan menyiksa coyote putih yang menyebut dirinya Old Shatterhand, yang jauh lebih besar kejahatannya daripada Winnetou, coyote orang Apache itu. Awaslah, jangan hendaknya mereka minta ampun apabila jatuh ke kekuasaan kita!" "Yakin benarkah Anda bahwa kita akan dapat menangkap mereka?" "Ya." "Jangan hendaknya Anda marah, akan tetapi sesungguhnya saya belum yakin benar." "Mengapa belum?" "Kita terpaksa berjalan kaki; mereka menunggangi kuda yang kuat lagi kencang larinya." "Akan tetapi jangan engkau lupa bahwa kita menempuh jalan yang memintas, sedang mereka harus mengambil jalan yang berliku-liku. Tokvi Kava mengetahui segala bukit dan lembah, tidak seorangpun lebih mengenal daerah ini daripada saya. Saya sudah membuat perhitungan yang seksama tentang jalan yang kita tempuh dan jalan yang akan dilalui oleh musuh kita. Kita akan mendahului mereka dan apabila Ik Senanda kembali serta membawa segala yang kita perlukan maka tak usah kita ragu-ragukan bahwa orang Apache dan kelima orang coyote putih itu akan jatuh ke tangan kita." "Yakin benarkah Anda bahwa Ik Senanda akan membawa segala-galanya?" "Ya." "Kuda, mesiu, bedil, pisau, pakaian dan daging?" "Pasti." "Akan tetapi apabila mereka di kampung mengetahui apa yang sudah terjadi, maka niscaya mereka tidak mau memberi apa-apa. Bahkan sebaliknya, mereka tidak akan mengakui kita lagi sebagai prajurit dan sebagai sesama mereka. Kita akan diusirnya dari masyarakat suku kita." "Uf! Adakah engkau mengira bahwa cucu saya sebodoh itu? Tentu saja ia tidak akan menceriterakan apa-apa tentang nasib kita. Walaupun sebenarnya tidak perlu, namun Ik Senanda sudah saya beri pesan agar sekali-kali jangan ia menyebut-nyebut sesuatu tentang apa yang sudah terjadi. Ia tahu di mana kita berkemah dewasa ini dan oleh karena kemarin ia belum datang seperti yang saya harap-harapkan, maka hari ini ia pasti akan sampai." "Mudah-mudahan Manitou akan memberkahi perjalanannya." "Mudah-mudahan ia akan membawa daging. Ik Senanda telah meninggalkan bedil dan pisaunya kepada kita supaya kita dapat berburu, supaya kita tidak terlalu menderita lapar." "Patutkah Anda sebagai seorang prajurit mengeluh karena kelaparan?" demikian ketua suku memarahi prajuritnya. "Tidak ada orang lain yang mendengar ucapan saya kecuali Anda sendiri dan Andapun menderita lapar juga. Saya tidak takut akan musuh, baik orang kulit merah maupun orang kulit putih, saya tidak takut akan bison dan beruang, akan tetapi lapar adalah musuh yang bersembunyi di dalam tubuh kita. Musuh itu tidak dapat kita lawan, tidak dapat kita ajak berkelahi; siasat maupun keberanian tidak ada gunanya terhadap musuh itu. Orang yang paling gagah berampun dapat ditumpaskannya. Karena itu pada hemat saya bukanlah suatu noda untuk mengeluh dan menyebut nama musuh yang sangat kuasa itu." "Benar pendapatmu," jawab Tokvi Kava. "Musuh itu merongrong tubuhku dan menggigit-gigit isi perutku. Benar katamu bahwa engkau tidak takut akan musuh apapun. Demikian juga halnya dengan saya; sampai beberapa lamanya saya selalu dapat mengalahkan setiap lawan, akan tetapi kemudian datanglah musuh yang dapat menundukkan saya. Karena itulah maka kita harus menderita lapar." "Siapakah musuh itu?" "Musuh itu bersarang di dalam tubuh saya juga. Namanya ialah Benci, kebencian saya terhadap Old Shatterhand, suatu perasaan yang tidak dapat saya tekan." "Uf, Uf!" sahut temannya. Hanya kata-kata itu saja yang diucapkannya, akan tetapi sudah cukup jelas untuk menyatakan maksudnya. "Ya, kebencian itulah musuh yang telah menaklukkan saya," demikian ketua suku itu menyambung perkataannya. Walaupun Tokvi Kava adalah orang yang sangat congkak, akan tetapi rasa lapar itu akhirnya membawa keinsafan sampai ia mengecam dirinya sendiri. "Sekiranya saya tidak menghina Old Shatterhand, sekiranya saya berdiam diri saja dan menantikan saat yang baik kemudian untuk membalas dendam, maka orang kulit putih itu tentu tidak akan merampas kuda, senjata dan jimat kita. Maka dengan diam-diam kita dapat bersembunyi di dekat perkemahan Firewood dan di sana menunggu kedatangan musuh-musuh kita untuk menyergapnya. Maka sudah tentu mereka akan kita tangkap." "Nah itu benar belaka. Tetapi apa gunanya kita menyesali diri; kita ada di sini dengan nasib seburuk ini dan kita menderita lapar. Sudah beberapa lamanya kita berjalan kian ke mari untuk mencari daging, akan tetapi tidak menjumpai buruan seekor pun sehingga terpaksa memakan 'kalebas' yang jijik itu. Apabila usaha teman-teman kita untuk memasang jerat tidak berhasil juga, maka tak lama lagi kita akan mati kelaparan. Berapa banyak peluru Anda?" "Paling banyak hanya untuk sepuluh tembakan." "Kalau begitu Ik Senanda hari ini juga harus datang, kalau tidak kita akan mati, sebab... Uf!" Demikian ia memenggal perkataannya. "Apakah itu?" tanya Tokvi Kava. "Lihatlah ke arah itu!" jawab temannya dengan kegirangan, sambil menunjuk ke arah mudik. Ketua suku Comanche memalingkan mukanya ke arah yang ditunjukkan oleh temannya dan sesaat kemudian wajahnya berseri-seri. "Bison!" katanya dengan berbisik. "Ya, enam ekor! Seekor jantan, tiga ekor betina dan dua ekor anak!" "Nah, kini kita akan memperoleh daging!" Dengan segera ia mencekau bedilnya, akan tetapi tangannya gemetar, entah karena letih, entah karena gugup. "Tangan Anda gemetar," kata temannya. "Kalau Anda tidak tenang, maka lenyaplah harapan kita untuk memperoleh daging." "Diam! Itu tadi akibat lapar, akan tetapi nanti tangan saya tidak akan gemetar lagi." "Binatang-binatang itu pergi ke sungai; mereka akan datang ke mari, sebab angin ke mari pula arahnya, sehingga mereka tak akan mencium bau kita." "Ya, itu betul. Marilah kita bersembunyi di bawah semak-semak itu." Mereka menyuruk-nyuruk pergi ke semak-semak yang letaknya dekat pada tempat mereka. Dengan hati yang berdebar-debar mereka mengamat-amati gerak-gerik kawanan bison itu. Binatang-binatang itu berjalan dengan lambat sekali, bahkan kadang-kadang ada yang berhenti untuk memakan rumput, kadang-kadang ada pula yang menengadahkan kepalanya ke langit mencium-cium udara kalau-kalau ada musuh di dekatnya. Bison yang jantan sudah tua sekali, akan tetapi badannya masih kuat. Dagingnya tentu liat. Sesungguhnya tidak ada manfaatnya sama sekali bagi orang yang kelaparan, sebab dagingnya tidak dapat dimakan. Walaupun begitu Tokvi Kava tahu bahwa bison jantan itulah yang harus ditembaknya lebih dahulu, sebab sekiranya ia hanya mengindahkan mutu daging dan menembak lebih dahulu seekor betina, maka kedua orang Indian itu akan terancam bahaya yang besar, sebab tak dapat tidak bison jantan itu akan menyerang mereka. Kawanan bison itu makin mendekat kepada sungai; yang jantan di muka sekali, diikuti oleh yang betina dan anak bison. Kini jauhnya hanya kira-kira tigapuluh langkah saja dari tempat orang-orang Indian bersembunyi, tetapi kawanan itu tidak menaruh curiga. Mereka rupa-rupanya mengandalkan ketajaman pancaindera pemimpinnya. Kini Tokvi Kava membidik; tangannya tidak gemetar lagi akan tetapi tidak segera melepaskan tembakan, sebab bison jantan itu pada saat itu menghadap kepadanya. Ia menunggu kesempatan sampai bison itu memalingkan kepalanya. Setiap Indian dan setiap pemburu yang berpengalaman tahu bahwa tembakan yang dilepaskan dari samping lebih banyak memberi pengharapan akan mengenai jantung buruannya. Tembakan serupa itu selalu membawa maut. Kawanan itu mendekat kira-kira sepuluh langkah lagi, tetapi dengan tiba-tiba seekor betina berhenti, menengadahkan kepalanya ke langit serta mendengus-dengus. Mendengar dengus itu bison jantan memalingkan kepalanya dan pada saat itu lepaslah tembakan Tokvi Kava. Bison jantan itu menggigil, kemudian tegak tanpa bergerak lalu rebah. Tembakan itu mengenai jantungnya. Dalam pada itu Tokvi Kava dengan cepat mengisi lagi bedilnya. Mendengar tembakan maka bison-bison betinanya melarikan diri. Anak bison yang seekor mengikuti induknya, akan tetapi yang seekor lagi mendekati bison jantan yang sudah mati. Melihat itu induknya segera kembali serta menggeser-geserkan hidungnya kepada anak bison untuk memberi isyarat supaya lekas lari. Pada saat itu Tokvi Kava melepaskan tembakannya yang kedua dan bison betina itu jatuh tersungkur. Kini kedua orang Indian itu bangkit lalu keluar dari tempat persembunyiannya seraya bersorak-sorak. Dengan cepat mereka mendekati mangsanya. Anak bison itu melompat-lompat kian ke mari dan dengan sekali pukulan tangkai bedil rebah pulalah anak bison itu. "Uf, uf, uf!" teriak ketua suku. "Saudara merah saya melihat, bahwa saya tidak gemetar. Kedua peluru itu tepat mengenai jantungnya. Sekarang banyak daging untuk orang-orang kita." "Ya, daging bison betina itu bagus," kata temannya. "Akan kita sembelihkah binatang-binatang itu sekarang?" "Tidak, sebab pekerjaan itu akan makan waktu agak lama. Kita akan membawa prajurit-prajurit kita ke sini." "Adakah tidak lebih baik, bahwa seorang akan pergi, dan seorang lainnya akan tinggal di sini untuk menjaga daging bison-bison itu?" "Ya, pendapat itu bagus, Tokvi Kava akan pergi, saudara saya boleh tinggal di sini." "Tetapi Tokvi Kava hendaknya meninggalkan bedilnya." "Tidak mungkin, sebab saya memerlukannya sendiri. Di daerah ini tidak ada musuh." "Oleh karena itu Tokvi Kava pun tidak memerlukan bedil, sedangkan saya harus melawan burung-burung elang dan ajag-ajag yang tertarik oleh bau daging." "Ah itu betul, saudaraku. Inilah bedil saya, saya tinggalkan kepada Anda." Tokvi Kava memberikan senjata itu kepadanya. Dengan selera besar ia melihat lagi ke-tiga ekor bison yang telah tertembak mati itu, maka berangkatlah ia. Bison jantan itu beratnya lebih dari seribu kilogram. Tokvi Kava berjalan menuruti tepi batang sungai kecil. Jalannya cepat dan kurang berhati-hati, oleh karena ia yakin bahwa di daerah itu tidak ada musuh. Setelah berjalan dua mil, sampailah ia pada tempat di mana orang-orang dari suku Comanche duduk-duduk dan berbaring-baring dengan muka yang memperlihatkan kelelahan dan kelaparan. Orang-orang itu telah meninggalkan Firewood Camp dengan cara tidak terhormat. Beberapa orang yang pagi-pagi hari pergi melihat jerat-jerat yang telah di pasang, ternyata kembali dengan tangan hampa. Ketika orang-orang itu melihat Tokvi Kava datang sendirian tanpa bedil dan kawannya, maka dengan gembira mereka berharapan, bahwa ketua mereka itu mendapat untung pada perburuannya. Mereka serentak berdiri seraya berteriak: "Adakah Tokvi Kava telah menembak apa-apa? Ada daging?" "Ya. Saya telah menembak mati seekor bison jantan, seekor betina dan seekor anaknya." Demi mendengar kabar yang sangat menggembirakan itu, mereka bersorak-sorak kegirangan, sehingga tidak melihat bahwa seorang penunggang kuda telah datang mendekat. Orang itu adalah Ik Senanda, cucu Tokvi Kava. Ia telah disuruh pergi oleh kakeknya untuk mencari makan dan senjata yang sangat diperlukan prajurit-prajuritnya. Dengan demikian ia tidak mendengar tentang nasib buruk yang menimpa orang-orang Comanche di Firewood Camp. Dalam pandangannya kakeknya adalah ketua suku yang tidak terkalahkan oleh siapapun juga. Tokvi Kava berdaya upaya menutupi peristiwa yang memerosotkan martabatnya sebagai ketua suku itu. Andaikata ia memiliki senjata-senjata dan kuda-kuda, niscaya ia akan dapat menangkap lagi Winnetou, Old Shatterhand dan pengikut-pengikutnya. Peristiwa itu tentu akan memperbaiki namanya yang telah begitu menurun. Betapa kecewa hatinya, ketika ia melihat bahwa cucunya muncul kembali tanpa membawa apa-apa, baik kuda maupun senjata. Dibawanya dia ke tempat yang agak menyendiri dari prajurit-prajuritnya dan dengan suara parau ia bertanya: "Cucuku, manakah kuda-kuda itu?" "Saya tidak mendapatkannya." "Manakah seratus pucuk senapan dan pisau yang sangat saya butuhkan?" "Tidak ada." "Apakah yang kau bawa?" "Hanya beberapa pucuk bedil, pisau, mesiu, peluru dan pakaian baru untuk kakek." "Tidak ada lainnya lagi?" "Tidak." "Kalau begitu, cucunda berbuat lain daripada yang saya perintahkan." "Saya telah bertindak seperti kakek perintahkan kepada saya." "Adakah Anda telah menceriterakan apa yang telah terjadi di Firewood Camp?" "Tidak, saya tidak berceritera apa-apa. Tetapi umum telah mengetahuinya." "Siapakah yang memberitahukan kepada mereka, kalau tidak Anda sendiri? Jika saya tahu orangnya, tidak akan saya beri ampun dia. Akan saya scalp dia." Dari tangannya yang dikepal-kepalkan dan dari kedua belah matanya yang menyala-nyala orang dapat melihat, bahwa ia sedang mendidih karena kemarahan. "Kakek tidak akan mendapatkan scalp, oleh karena kereta api orang kulit putihlah yang menyiarkan berita itu dan dia lebih cepat dari kaki kuda." "Adakah kereta api itu juga datang pada suku Naiini-Comanche?" "Tidak, akan tetapi dia lewat tidak jauh daripada mereka dan pada tiap-tiap setasiun orang-orang kulit putih menyiarkan berita itu yang didengar pula oleh prajurit-prajurit kita." "Uf! Itulah bencana yang dibawa oleh air api dan kereta api ke daerah orang merah. Ah, tidak lama lagi semua orang di antara kedua lautan ini akan tahu, bahwa Tokvi Kava telah kehilangan rambut dan obat-obatnya! Nama saya yang tersohor itu akan hilang lenyap seperti asap ditiup angin. Tetapi saya akan membalas dendam kepada mereka yang telah menghina saya." "Kakek, Anda adalah orang termasyhur dan akan tetap termasyhur. Kita akan menangkap Old Shatterhand dan kawan-kawannya orang Apache. Mereka harus menyerahkan scalp dan obat-obatan mereka. Barulah Anda dapat pulang ke daerah perburuan abadi." "Uf! Adakah itu tidak dapat sekarang?" "Tidak!" "Sudahkah itu dibicarakan?" "Ya, oleh prajurit-prajurit yang tertua dan yang bijaksana." "Adakah saya diasingkan oleh mereka?" "Ya." "Uf! Uf!" keluh Tokvi Kava sambil menutup mata dengan kedua belah tangannya. Sesudah beberapa saat ia membuka matanya lagi dan bertanya: "Mengapa Ik Senanda hanya membawakan pakaian bagi saya?" "Saya tidak berani." "Adakah Anda juga dilarang membawakan kuda bagi saya." "Ya." Tokvi Kava melihatkan cucunya dengan air muka ketakutan dan bertanya dengan suara yang hampir tidak dapat didengar: "Tidak dapatkah saya memperoleh kembali kuda jantan saya, si Mustang Hitam, yang lebih berharga daripada jiwa saya sendiri?" "Tidak." Tokvi Kava meloncat karena kemarahan yang memenuhi dadanya dan hendak berteriak-teriak, tetapi seketika itu juga Ik Senanda mengacungkan jarinya seraya berkata: "Kakek adalah seorang kepala suku yang besar. Seorang prajurit besar harus pandai menahan diri bagaimanapun perasaan yang dikandung dalam hatinya. Prajurit-prajurit kita di sana itu tidak boleh melihat, bahwa kepalanya lupa daratan." "Ya, cucunda benar! Teman-teman saya yang tidak setia akan mendapat pembalasan yang setimpal. Adakah yang hendak Anda katakan?" "Tidak, kakek adalah orang yang memberi perintah, saya hanya tinggal menjalankannya. Apa yang Anda katakan selalu benar, oleh karena itu harus kita laksanakan." Kata-kata Mestis itu sangat sopan dan merendahkan diri, dan disertai sikap, bahwa seluruh pikiran dan tenaganya diserahkan kepada kakeknya. Tetapi orang yang mempunyai mata tajam seperti Winnetou atau Old Shatterhand, akan melihat bahwa mulut dan air mukanya menggambarkan hati nuraninya yang palsu dan ingin berkuasa. Sebenarnya orang peranakan itu mengharapkan sepenuhnya, bahwa ia pada suatu waktu akan menjadi ketua suku Naiini. Setelah kedua orang itu selesai bercakap-cakap, maka kembalilah mereka mendekati orang-orang Indian lainnya. Dari gerak-gerik dan sikap kakek dan cucunya itu, prajurit-prajurit dapat menduga, bahwa kesialan telah menimpa diri mereka. Sekarang mereka tak ada kuda dan senjata, sedangkan perut mereka telah berkeroncongan karena kelaparan. Sebelum mereka meninggalkan tempat itu, senapan-senapan yang ada dibagi-bagikan kepada beberapa orang Indian yang pandai menembak. Ketika mereka sampai di tempat di mana ketiga bison itu telah mati, maka dalam waktu yang sangat singkat binatang-binatang itu telah dipotong-potong dagingnya, dan dimakan dengan lahapnya. Setelah mereka kenyang, berangkatlah mereka untuk membalas dendam kepada musuh-musuhnya, orang-orang putih dan orang-orang Apache. VII. MENUJU KE ESTRECHO DE CUARZO Jalan yang ditempuh ialah mengikuti jalan batang sungai kecil menuju hilir dan kemudian membelok ke Selatan sepanjang kaki pegunungan Sierra Moro. Berjalan kaki adalah pekerjaan hina bagi orang-orang Comanche yang galibnya senantiasa menunggang kuda. Di antara mereka hanya Ik Senandalah yang memiliki seekor kuda. Kuda itu didapatnya dari orang-orang Naiini sebagai hasil pertukaran dengan kuda putihnya yang dicurinya di Rocky Ground. Untuk menghemat kekuatan kudanya, maka peranakan itu berjalan kaki di sampingnya. Pada hari senja rombongan orang Comanche itu sampai di suatu padang yang banyak rumputnya. Di situ mereka menemukan jejak beberapa puluh penunggang kuda. Mereka adalah orang kulit putih, oleh karena kuda mereka bersepatu besi. Sebagai orang-orang alam, orang-orang Indian itu dapat mengetahui dari jejak kuda-kuda itu, bahwa orang-orang kulit putih itu belum ada sejam berselang lewat di tempat itu. Betapa gembiranya orang Comanche karena sekarang timbul harapan lagi akan memperoleh kuda dan senjata. Oleh sebab itu besar keinginan mereka mengejar orang-orang putih itu. Pada waktu matahari akan terbenam, terlihatlah bahwa jejak rombongan penunggang kuda itu masuk ke pegunungan. Ketika Tokvi Kava melihatnya, berkatalah ia kepada cucunya: "Orang-orang kulit putih ini cerdik juga untuk bermalam di pegunungan. Di tanah rendah api unggun akan nampak dari jauh. Akan sukarlah bagi kita sekarang untuk menyerang mereka." "Pshaw! Jumlah orang kita jauh lebih besar, ada tiga kalinya. Jika dengan kekuatan tidak berhasil, maka dengan tipu muslihat." "Bagus, cucuku. Hanya Anda tak boleh lupa, bahwa orang-orang kita kehilangan tenaganya karena lapar. Kita lebih dahulu harus mengintai perkemahan orang kulit putih." Di lereng-lereng gunung tumbuh semak-semak di mana orang-orang Comanche memilih tempat pemberhentiannya. Tokvi Kava dan Ik Senanda meninggalkan rombongannya setelah hari menjadi gelap untuk mencari tempat perkemahan orang-orang kulit putih. Dari bau asap yang diciumnya mereka tahu, bahwa tempat orang putih itu tidak jauh lagi letaknya. "Kita sudah dekat!" bisik Tokvi Kava. "Kita tunggu sampai hari menjadi gelap gulita." Setelah dua jam matahari terbenam, maka mendekatlah dua orang Indian itu. Terdengar suara air berkericik dalam sungai kecil. Di antara batang-batang pohon terlihat cahaya api unggun. Di sekelilingnya duduk-duduk orang putih, sedangkan dua orang lainnya berjaga di dekat kuda-kuda mereka, dengan bedilnya siap sedia. Dengan tidak membuat suara yang sekecil-kecilnyapun kedua orang Indian itu berhasil menyusup sampai jarak beberapa langkah, sehingga mereka dapat melihat dengan terang dan mendengar pembicaraannya. Yang sedang berbicara adalah seorang yang telah berusia lanjut, berambut dan berjanggut putih. Air mukanya adalah bukti bahwa ia adalah banyak pengalamannya dan petualangannya. Kata-katanya bersemangat dan tegas, seolah-olah merupakan perintah seorang militer. Teman-temannya berkata "Baginda" terhadapnya. Orang-orang di sekelilingnya adalah jauh lebih muda daripada "Baginda", akan tetapi cukup berpengalaman di daerah Barat ini. Yang termuda di antara mereka adalah seorang pemuda berambut pirang, dinamai "Tall Hum". Kepada orang tua itu pemuda itu berkata: "Baginda nampaknya merasa aman di sini, karena tidak memasang penjaga-penjaga di sekitar kita. Ini adalah daerah orang Comanche, yang sanggup membunuh kita semua." "Janganlah khawatir, Tall Hum. Tidak ada seorang kulit merah yang berani melemparkan saya dari singgasana saya ini. Apalagi saya dikelilingi oleh tigapuluh orang kesatria yang gagah berani. Tetapi Tall Hum, Anda benar. Setelah habis makan, kita akan menempatkan penjaga-penjaga di tempat-tempat, yang tiap-tiap jam harus diganti. Mereka hendaknya jangan duduk-duduk melainkan berjalan kian ke mari. Dengan begitu tiap-tiap orang dapat tidur tujuh jam. Kita akan bertindak demikian, sampai kita tiba di San Juan Mountains." "Kita semua akan menjadi jutawan di situ," kata Hum sambil tertawa. "Ya, saya kira." "Oleh karena saya telah kehilangan harta warisan paman saya, maka saya ingin pula menjadi kaya di Colorado." "Hum, bagaimanakah duduk perkara warisan itu? Coba ceriterakanlah!" "Ya, paman saya memang tidak meninggalkan uang sepeser pun bagi saya. Dia pandai bermain sandiwara, seolah-olah ia adalah seorang kaya raya. Ayah saya, walaupun seorang pekerja yang cakap, tidak mencapai sukses dalam hidupnya. Ketika ayah saya berpulang, ia hanya meninggalkan utang saja. Paman saya tidak beranak sendiri, maka ia menunjuk saya sebagai ahliwarisnya. Akhirnya paman itu meninggal juga dan warisannya adalah sebuah peti uang yang kosong dan sebuah buku kas. Buku itu saya pelajari. Ternyata bahwa paman saya adalah orang yang tidak jujur. Uang yang tiap bulan diterimanya dari ayah saya, dipakainya untuk kepentingan diri sendiri. Setelah akhirnya ayah saya, sebelum ia meninggal dunia, mengetahui kecurangan adiknya, ia bermaksud tidak akan membuka rahasia paman saya. Jadi uang yang semestinya menjadi hak saya, hilang tak keruan rimbanya." "Siapa nama pamanmu?" "Ah buat apa saya tahu itu." "Ai, ai, nama keluarga Anda sama bukan? Dan Andapun tidak pernah mengatakan, apa arti nama Hum, dan apa nama keluargamu." "Buat apa? Nama itu membuat jengkel saya saja." "Mengapa?" "Ya, karena nama itu hanya untuk ditertawakan saja, apalagi di Amerika." "Sudahlah, Hum! What's in a name! Tentang warisan yang lenyap itu, janganlah khawatir. Anda akan mendapat seratus kali lebih banyak nanti di San Juan Montains di Colorado." "Tentang itu saya yakin, Baginda. Dan Baginda adalah orang yang lain daripada paman saya." "Peta tambang emas itu ada dalam saku saya. Apabila kita telah menemukannya, kita akan menjadi amat kaya, meskipun tidak sekaya, andaikata tambang Bonanza dari Hoaka jatuh ke tangan kita." "Saya sering mendengar nama itu. Bonanza adalah kata Spanyol atau Inggris dan Hoaka adalah kata Indian." "Memang. Tentang artinya saya tidak tahu. Belum pernah saya menjumpai orang putih atau merah yang dapat menerjemahkannya. Tetapi Bonanza adalah suatu kenyataan. Ratusan pencari emas telah mencoba mencarinya, dan beberapa dari mereka telah menemukan gumpalan emas di dekatnya. Di mana tempat yang sebenarnya tidak ada yang tahu. Kita sekarang berada di daerah Bonanza itu. Andaikata kita secara kebetulan menemukannya!" Semua orang yang mendengarkannya serempak mengeluarkan teriakan gembira. Begitulah besar daya tarik emas di daerah Barat Amerika. "Meskipun demikian, ada orang-orang yang mengenal Bonanza itu, tetapi tidak pernah mengambil kekayaannya," kata Baginda. "Ah, betulkah? Siapa itu orang-orangnya?" "Ya, benar. Ada orang-orang Indian, yang merahasiakan daerah emas itu karena rasa benci mereka kepada orang kulit putih. Apabila mereka membeli sesuatu dari seorang kulit putih, maka mereka membayarnya dengan butir-butir emas murni yang diambilnya dari tambang itu. Saya pernah berjumpa dengan seorang pastor di Albuquerque, yang sekali peristiwa bertemu dengan seorang Indian di Estrecho de Cuarzo. Pastor itu memberikan kepadanya roti dan daging karena ia kelaparan. Maka Indian itu membalasnya dengan sebutir emas yang beratnya ada limapuluh gram. Di dalam kantongnya masih ada butir-butir yang lebih besar lagi." Orang-orang yang mengelilinginya berteriak-teriak kegirangan. Salah seorang bertanya: "Adakah pastor itu menanyakan tempat asal emas itu?" "Ya, tetapi tidak mendapat jawaban dari Indian itu." "Di mana letak Estrecho de Cuarzo, Baginda? Apa artinya itu?" "Kata itu bahasa Spanyol dan berarti tanah sempit kwartsa. Kwartsa ialah suatu jenis batuan, yang biasanya mengandung emas. Di tanah sempit itu dahulu ada air terjun yang menggugurkan batuan dan melepaskan emasnya. Akhirnya butir-butir itu terkumpul dalam legok-legok. Kalau orang memikirkan harta yang berjuta-juta itu, ia bisa menjadi gila." Ceritera itu menyebabkan kegemparan pada pendengarnya. Akhirnya orang tua itu berkata: "Mari tuan-tuan. Penjagaan harus segera diatur Yang tidak berjaga, harus mencari tempat tidurnya dengan bedilnya siap-siap di sampingnya." Tidak lama kemudian sepilah suasana di perkemahan itu. Mustang Hitam mengajak Ik Senanda meninggalkan tempat pengintaian itu. Setelah agak jauh, bertanyalah ia: "Dapatkah cucu mendengar semuanya?" "Ya." "Saya tidak semuanya, tetapi mengertilah semua pembicaraan. Besok hari kita akan memperoleh kuda, senjata dan scalp orang-orang putih itu. Uf!" "Tetapi, kakek, orang-orang itu bukan anak-anak kecil." "Saya akan menyerangnya juga." "Kalau saya, malam ini saja kita laksanakan." "Cucu berbicara sebagai anak muda. Saya orang tua, lebih berhati-hati. Anda tahu, penjagaan sangat keras, dan yang tidur pun selalu siap-sedia. Saya tidak ingin mengorbankan prajurit-prajurit saya menjadi umpan peluru." "Lalu, apakah rencana kakek?" "Saya tidak tahu di mana letak Bonanza, tetapi saya tahu letak Scapo-Gaska kita (tempat menimbun emas)." "Uf," teriak Ik Senanda, "Untuk apa tempat itu?" "Jika Anda hari ini pergi ke sana, maka besok pagi-pagi hari Anda akan sampai di Estrecho de Cuarzo. Saya bersama prajurit-prajurit lainnya malam ini juga akan menuju ke sana." "Kita akan sampai bersamaan dengan orang putih." "Kita tiba lebih dahulu dari mereka. Dengarkanlah apa yang saya katakan ini. Anda mengambil butir-butir emas dari Scapo-Gaska kita dan hendaknya Anda dengan sengaja ditangkap oleh orang-orang kulit putih. Jika mereka melihat emasmu, mereka akan menanyakan di mana letak Bonanza. Setelah menolak mengatakannya, akhirnya Anda bawalah mereka ke Estrecho, di mana kita akan mengepungnya, sehingga mereka tidak dapat meloloskan diri." "Uf", seru Ik Senanda. "Itu akal si Old Shatterhand dahulu." "Ya, pahlawan yang cerdik mau juga belajar dari musuhnya. Kita akan menyediakan kayu bakar banyak-banyak. Apabila orang-orang kulit putih berada di Estrecho, maka kayu itu akan kita nyalakan dan mereka akan terkurung seperti kita dahulu di Gua Birik." "Dengan demikian orang kulit putih akan membunuh saya," kata Ik Senanda. "Mereka akan tahu, bahwa saya membawanya ke suatu perangkap." "O, tidak. Saya tidak akan membiarkan Anda terancam oleh bahaya. Sebab Anda dalam pada itu harus sudah melarikan diri." "Kalau saya diikat, bagaimana?" "Saya akan berunding dengan mereka. Saya akan melepaskan mereka, apabila mereka suka melepaskan Anda." "Bukankah maksud kakek akan membunuh orang-orang itu, agar dapat memperoleh kudanya dan senjatanya?" "Memang, itu rencana saya. Dan rencana itu saya laksanakan setelah Anda dibebaskan. Terhadap orang-orang kulit putih kita tak perlu menepati janji kita." "Baiklah. Nanti prajurit-prajurit Comanche akan memuji keberanian saya, bahwa saya telah mempertaruhkan jiwa dan kebebasan saya untuk menjebak orang-orang kulit putih." "Marilah kita kembali!" Ketika kedua orang merah itu tiba di tempat teman-temannya, berceriteralah Mustang Hitam tentang apa yang dilihat dan didengarnya dan apa rencananya. Karena banyak pikiran, maka orang-orang kulit merah itu tidak dapat tidur dan mengaso lagi. Kuda, senjata dan scalp orang putih membuat mereka tetap jaga. Beberapa menit kemudian berangkatlah mereka ke Estrecho de Cuarzo, sedangkan Ik Senanda berjalan menuju ke Scapo-Gaska. Jalan yang mereka tempuh adalah lebih jauh dan penuh dengan rintangan-rintangan, sedangkan yang lebih baik dan ringan akan dilewati orang-orang kulit putih pada keesokan harinya. Dengan demikian orang-orang putih itu tidak akan menjumpai jejak orang-orang Comanche. Di bawah pimpinan Mustang Hitam sendiri orang-orang Indian itu berjalan sepanjang malam, sepanjang jurang yang dalam dan batu-batu yang curam. Setelah matahari menampakkan wajahnya, berhentilah mereka barang sejenak untuk mengaso dan makan daging bison yang mereka bawa. Kira-kira tengah hari sampailah mereka di suatu tempat dekat Estrecho. Daerah di mana Estrecho itu terletak dapat digambarkan sebagai berikut. Sebuah dataran tinggi yang sempit berjalan dari Barat ke Timur. Di atasnya tumbuh semak-semak. Pada ujungnya yang di sebelah Timur, dataran itu dipotong oleh sebuah jurang yang terjadi karena erosi dan kekuatan vulkanis. Maka bagian yang terpotong itu merupakan tebing yang curam dan gundul. Tebing itu terdiri dari batu-batu kwartsa yang berdiri hampir tegak lurus di atas tanah di sekelilingnya. Inilah yang dinamai Estrecho de Cuarzo, yang menurut Sri Baginda dibentuk oleh sebuah air terjun. Orang-orang Comanche mencari tempat persembunyian dalam hutan di dekat tebing itu dan menjaga jangan sampai membuat jejak-jejak kakinya. Tokvi Kava memerlukan memeriksa daerah sekitarnya kalau-kalau ada orang lain, dan ketika ia kembali di tempat kawan-kawannya, mereka sedang mengumpulkan kayu bakar. Sebentar kemudian datanglah Ik Senanda yang membawa butir-butir emas seperti telah diperintahkan Mustang Hitam. Setelah ia menyerahkan emas itu kepadanya, maka menghilanglah ia untuk menjalankan tugasnya yang sangat berbahaya, yaitu dengan sengaja ditangkap oleh orang kulit putih. Dengan hati berdebar-debar orang-orang kulit merah itu menunggu kedatangan rombongan orang kulit putih. Baginda dengan kawan-kawannya sama sekali tidak mengira-ngirakan akan adanya bahaya yang mengancam mereka. Orang-orang itu tidur sampai hari menjadi terang dan ketika meninggalkan tempat perkemahan mereka tidak seorangpun melihat jejak kedua orang Indian yang mengintai gerak-gerik mereka malam sebelumnya. Rombongan berjalan terus sampai lewat tengah hari, kemudian berhenti untuk melepaskan lelah dan makan siang. Pada kira-kira jarak tiga mil dari Estrecho, menurunlah jalannya menuju ke sebuah lembah di mana terlihat sebatang pohon kayu saja. Pemimpin rombongan yang berjalan di depan bersama Hum, menunjuk kepada pohon itu dan berkata: "Saya kenal pohon di kejauhan itu. Dari situ masih satu jam berjalan lagi, kemudian kita akan sampai di Estrecho." Teman-temannya yang berada di belakangnya melihat ke arah pohon itu dan seorang daripada mereka yang memiliki mata tajam berkata: "Baginda, kecuali pohon, saya pun melihat seekor binatang atau seorang manusia." "Ai, seorang manusia saja di daerah yang begini sepinya? Dia tentunya seorang petualang, yang hendak mencari Bonanza juga. Marilah kita ke sana, akan kita tanyai dia!" Setelah dekat, ternyata bahwa orang itu sedang tidur nyenyak sekali di bawah pohon, sehingga ia tidak mendengar orang-orang datang. Di antara ikat pinggang dan bajunya terselip sebuah pundi-pundi dan dari ujung pundi-pundi itu nampak sebatang emas yang berkilau-kilauan. "Astaga!" teriak pemimpinnya. "Orang ini membawa kepingan emas. Melihat kulitnya, ia adalah seorang peranakan, seorang Mestis. Kita telah dekat pada Estrecho!" Karena suara orang-orang makin riuh terbangunlah orang itu. Demi ia melihat muka orang-orang kulit putih, maka bangkitlah ia dengan tiba-tiba. Ia memegang kantongnya, seolah-olah barang itu akan terjatuh dari ikat pinggangnya. Orang itu tidak lain daripada Ik Senanda yang sungguh dapat bermain sandiwara di depan orang-orang kulit putih yang haus akan emas itu. Ia telah sejak sejam yang lalu menunggu kedatangan mereka dengan pura-pura tertidur dan telah meletakkan kantong yang terisi dengan emas sedemikian sehingga orang-orang kulit putih dapat segera melihatnya. Usaha Senanda menjerumuskan mereka ke dalam perangkap nampaknya akan berhasil baik. Pemimpin rombongan itu bertanya: "Hai, siapa kau, orang setengah merah?" "Yato Inda, tuan." Nama itu telah kita kenal di Firewood Camp dahulu. "Yato Inda? artinya "orang baik." Siapa ayahmu?" "Pemburu kulit putih." "Dan ibumu?" "Anak orang Apache." "Untuk apa kamu mengembara di daerah Comanche ini di mana tidak ada terdapat orang-orang Apache?" "Saya diusir suku saya, orang-orang Apache." "Mengapa?" "Karena saya bersahabat dengan orang kulit putih." "Hm, jadi engkau semacam orang buangan. Hal itu cocok benar, karena kau hanya membawa pisau, dan bedilmu telah dirampas." "Yato Inda akan membeli sebuah dari orang kulit putih." "Tetapi kau harus mempunyai uang." "Yato Inda tidak memerlukan uang." "Mana boleh? Kau kira, orang mau memberikan bedil secara cuma-cuma?" "Tidak. Tetapi orang kulit putih mau juga menerima emas untuk bedil dan air api (brandy)." "Ha! Air api, engkau suka meminumnya juga?" "Ya, tentu." "Jadi kau ada butir-butir emas?" "Saya tidak punya, tetapi saya akan mencarinya sampai ketemu." "Adakah engkau mencari Bonanza yang termasyhur itu?" Dengan muka bodoh Ik Senanda menjawab: "Adakah saudara saya orang putih pernah mendengar juga tentang Bonanza? Anda kirakah itu omong kosong belaka?" "Ya, sebab tidak mungkin sekian banyak emas terdapat di suatu tempat." "Uf! Memang itu bukan ceritera khayal. Bonanza itu betul-betul ada!" "Di mana?" "Saya tahu tempatnya... uf, uf!" Ia seolah-olah terkejut telanjur mengeluarkan kata-kata itu. "Saya pernah mendengar, bahwa itu memang ada." Mendengar jawab itu, Baginda menjadi marah, mencekau lengan Ik Senanda dengan tangan kanannya seraya berteriak: "Ayo, jangan membohong, kau tahu di mana letak Bonanza. Katakanlah sekarang, kalau tidak..." "Saya tidak tahu... betul tidak tahu... tidak boleh berceritera kepada siapa saja." "Jangan membohong, ayo katakan!" "Tidak, tidak!" "Bedebah kau! Awas, saya akan membuktikan, bahwa kau membohongi saya!" Secepat kilat pemimpin itu menarik pundi-pundi dari ikat pinggang Ik Senanda, sehingga isinya berjatuhan di tanah. Seperti serigala menerkam mangsanya, maka orang-orang kulit putih yang berdiri mengelilingi kedua orang itu, melompat dan berebutan mencari butir-butir emas itu. Baginda memegang Ik Senanda pada kedua lengannya dan diangkatnya dia ke atas seraya berteriak: "Pembohong engkau. Dari mana kamu mengambilnya ini?" Mestis itu seolah-olah menjadi bisu karena ketakutan. Dengan terputus-putus jawabnya: "Saya... menemukannya... di hutan!" "Omong kosong! Masa sekantong emas dibuang begitu saja dijalan! Kau telah mengambilnya dari Bonanza! Ayo, katakan di mana itu." Ik Senanda hanya bergeleng-geleng kepala saja. Karena telah jengkel hatinya, maka Baginda mengeluarkan ancaman: "Kau saya beri waktu satu menit. Kalau tidak mau mengaku juga, kepalamu akan saya hujani peluru!" Dan pada saat itu juga, semua senapan diarahkan ke kepala Ik Senanda. Dengan suara ketakutan ia merintih: "Biarkan saya hidup. Tadi saya tak membawa kuda dan senjata, dan telah meninggalkan suku saya, tetapi tuan-tuan hendak menghabisi nyawa saya juga." "Karena bohongmu! Tetapi kalau engkau mau membuka rahasia Bonanza, engkau dapat tetap hidup. Dan dengan demikian kau membalas dendam terhadap sukumu!" "Ya, dendamku belum hilang. Tetapi apa gunanya saya menunjukkan tempat Bonanza itu kepada Anda? Anda semuanya akan merampas emas yang ada di situ dan akan melupakan saya, sedangkan saya tidak mungkin lagi hidup bersama suku saya." "Jangan khawatir, kita akan membagi sama banyak. Anda separo, kami separo. Berapa banyak di situ?" "Uf! Limapuluh ekor kuda belum cukup untuk mengangkutnya." "Astaga!" teriak orang-orang kulit putih bersama-sama. "Betulkah itu? Bilamana engkau melihatnya?" tanya Baginda. "Telah berulang-ulang. Yang terakhir pagi tadi." "Saudara-saudara, dengarlah itu! Saya minta agar kepala Anda tetap dingin. Tidak lama lagi kita semua akan menjadi jutawan. Sampai mati emas kita tidak akan habis. Dengan harta itu kita dapat membeli seluruh negeri Amerika Serikat. Dan orang Mestis ini hanya ingin membeli bedil dan brandy! Saudara saya Yato Inda akan memperoleh separo dari semua emas nanti dan dapat minum air api sebanyak ia kehendaki!" "Kalau saya telah menerima bahagian saya, tentunya saya akan Anda bunuh juga untuk memperoleh harta saya." "Ah, jangan berkhayal. Kami orang-orang yang jujur dan tahu membalas budi. Kami tidak akan melupakan jasa-jasamu. Bawalah kami sekarang ke tempat itu." Dengan teriakan dan kata-kata kegirangan rombongan itu akhirnya menuju ke Estrecho de Cuarzo. Hanya seorang dapat menahan perasaannya, yaitu si Tall Hum. Ketika teman-temannya agak tenang, ia berseru: "Tuan-tuan dan gentlemen. Kita semua menghadapi suatu peristiwa yang hanya terjadi sekali saja dalam hidup kita di dunia ini. Harap tuan-tuan tetap menjadi orang jujur. Kepada Mestis ini kita telah berjanji akan memberikan separo dari kekayaan itu. Hendaknya kita nanti menepati janji kita." "Ya, ya, ya, tentu, tentu," sahut orang-orang itu sambil tertawa. Tetapi orang-orang yang sudah haus akan harta dunia itu, tidak akan menghargai jiwa seorang peranakan meskipun ia telah berjasa. "Karena saya yang menjadi penunjuk jalan, maka tuan-tuan tidak perlu berjalan jauh." "Adakah Bonanza itu terletak di Estrecho?" "Ya." "Ah kalau begitu, tanpa Anda kami dapat menemukannya juga." "Tidak mungkin, meskipun dicari beberapa tahun lamanya," jawab Ik Senanda. Dalam hatinya ia sangat gembira bahwa rencananya menjebak orang-orang itu berjalan sangat mudah. Dari tigapuluh satu orang itu hanya Hum yang tetap tenang dan diam. Ia meragukan bahwa teman-temannya akan menepati janjinya. Ketika ia berjalan di samping Baginda ia berkata: "Sir, orang ini telah sanggup menyerahkan separo dari harta itu kepada kita. Jika kita mengingkari janji kita, kitalah yang boleh disebut penjahat." "Ya, saya tidak pernah tidak jujur. Tetapi terhadap orang Indian kita tidak perlu bersikap jujur. Dan peranakan seperti misalnya Yato Inda ini, lebih licik, lebih jahat dan lebih curang daripada orang kulit merah. Kalau kita sudah menemukan Bonanza itu, dia saya suruh pergi saja." "Tanpa bahagiannya?" "Buat apa ia diberi? Itu adalah suatu kebodohan saja dari kita." "Saya tidak ingin melihat, ia ditipu mentah-mentah oleh orang kulit putih." "Jangan mencoba Anda mengalang-alangi kami semua! Anda hanya seorang diri saja. Dan tidak berdaya apa-apa." "Jangan dikira." "Apa maksudmu?" "Itu tergantung daripada kejujuran Baginda." "Anda mengancam saya?" "Ya, jika Anda tidak jujur terhadap peranakan itu." Winnetou menamakan emas selalu "debu kematian" (deadly dust), karena beberapa kejadian adalah bukti, bahwa logam mulia itu menyebabkan banyak kecelakaan dan kesedihan. Juga di sini dirasakan pengaruh jahat yang meliputi orang-orang yang semula adalah bersifat baik-baik. Baginda, yang dahulu dipuja-puja oleh Hum karena sifatnya sebagai pemimpin, sekarang melemparkan rasa persahabatannya dan dengan muka yang membenci ia berseru: "Awas, jika Anda hendak memberi peringatan kepada peranakan itu dan mengalang-alangi maksud kita. Anda akan merasakan peluru saya." Selesai dengan kata-kata itu, ia mempercepat kudanya hingga sampai di depan rombongan. Hum tinggal sendirian, di belakang, bahkan akhirnya ia turun dari kudanya dan berjalan kaki menuju Estrecho. Ketika ia mengarahkan matanya, ke gunung batu yang membatasi Estrecho, maka dengan sangat terkejut ia melihat bayangan-bayangan berjalan kian ke mari yang berasal dari orang-orang Indian. Dan pada saat itu nampaklah olehnya api menjilat-jilat ke atas dibarengi teriakan-teriakan orang Indian. Untunglah bagi Tall Hum bahwa hari telah mulai menjadi gelap, sehingga orang-orang Indian itu tidak dapat melihatnya. Mereka mengira, bahwa semua orang kulit putih dengan tidak ada kecualinya telah masuk perangkap. Untuk dapat menolong teman-temannya, Hum harus berhati-hati sekali, jangan sampai ia tertangkap pula. Oleh sebab itu ia menjauhkan diri dari Estrecho dan membuat jalan mengeliling ke arah Timur. Setelah ia menemukan tempat persembunyian, di mana ia dapat menambatkan kudanya, maka ia mengeluarkan kepalanya dari belakang sebuah batu besar dan mengarahkan matanya ke Barat. Terlihat olehnya api menyala-nyala di depan pintu masuk ke Estrecho. Pada sebelah yang satu nampak gerak-gerik orang-orang Indian dan pada sebelah yang lainnya berdiri teman-temannya yang telah terkurung oleh puluhan orang kulit merah. Ketika ia melihat ke atas, nampak olehnya orang-orang Indian yang mendaki lereng-lereng tebing yang tinggi. Salah seorang daripadanya, barangkali ketua sukunya berseru: "Letakkan semua senjata Anda. Mundurlah sampai di sebelah belakang Estrecho. Barangsiapa menembak kepada kami, maka akan mati di tiang siksaan. Mereka yang menyerah, akan tetap hidup dan akan kami merdekakan." Tall Hum berpikir-pikir apa yang harus ia kerjakan untuk menolong teman-temannya. Setelah ia menemukan sesuatu, maka berlarilah ia mengelilingi sebuah batu besar. Sekonyong-konyong keluarlah seorang dari tempat gelap berseru: "Hai, berhenti kamu. Kalau tidak, akan saya tembak kamu!" Dari suaranya Hum dapat tahu, bahwa orang itu adalah bangsa kulit putih. Tanpa memikirkan dalam-dalam tentang munculnya orang kulit putih di tempat itu, Hum menjawab: "Jangan mengalangi saya. Saya harus segera menolong teman-teman saya!" Tetapi belum juga ia melangkah lebih jauh, keluarlah orang kedua dari balik sebuah batu besar dan menempeleng Hum di kepalanya, sehingga pemuda itu roboh pingsan. Pembaca akan kita ajak mengikuti perjalanan rombongan orang-orang kulit putih di bawah pimpinan Baginda. Dengan Yato Inda sebagai penunjuk jalan mereka memasuki Estrecho de Cuarzo. Tak ada syak wasangka terhadap Mestis yang berjalan di depan mereka. Pada tempat yang agak gelap, peranakan itu berhenti dan berkata: "Tuan-tuan silakan turun dari kudanya dan mengikat kaki depan binatang-binatang itu. Saya akan membuka pintu tambang emas itu dan tuan-tuan segera akan melihat Bonanza di dalamnya." Ik Senanda berlutut di tanah dan seolah-olah mulai menggali batu-batu yang menutupi Bonanza. Ketika Baginda melihatnya, maka ia berkata: "Baik saya sajalah yang menggalinya." Dan seketika itu juga ia mulai menyingkirkan batu-batu dari dalam tanah dengan kedua tangannya. Dalam kesibukan itu ia tidak melihat, bahwa Yato Inda dengan diam-diam meninggalkan tempat itu dan keluar dari pintu belakang Estrecho. Di luar pintu sudah siap berdiri orang-orang Comanche dengan obor di tangannya untuk menyalakan kayu bakar. "Uf!" kata Tokvi Kava dengan puas. "Mereka telah masuk perangkap kita. Cucu saya adalah benar-benar cakap dan berani." Di dalam tanah sempit hari sudah mulai gelap, sehingga Baginda tidak dapat melihat apa-apa lagi. "Kita harus membuat api; kayu di sini ada cukup banyak." Kata-kata itu ditujukan kepada Yato Inda yang disangkanya masih ada di situ. Oleh karena tidak ada jawab, maka dipanggilnya dia sampai beberapa kali. Juga teman-temannya tidak mengetahui ke mana perginya peranakan itu. Bagaikan disambar petir Baginda merasa, bahwa ia dan rombongannya telah ditipu oleh Mestis itu dan dibawa ke dalam perangkap yang telah dipasangnya. "Kita harus segera ke luar dari sini," perintahnya. Bersama-sama mereka menuju ke pintu, tetapi dengan terkejut mereka berhenti, karena di depan lobang itu menyala-nyala api besar. Di balik api itu mereka mendengar teriak dan pekik orang-orang kulit merah. "Teman-teman, kita terkurung dan masuk ke dalam perangkap orang-orang Comanche. Saya kenal suaranya. Ini adalah pekerjaan si keparat Yato Inda! Ambillah kudamu! Dengan berlari cepat, kuda kita akan dapat melompati api itu!" Ketigapuluh orang itu naik ke atas kudanya, tetapi sesampainya di pintu, ternyata bahwa tempatnya tidak cukup luas untuk mengambil ancang-ancang. Dalam kegelisahan itu mereka mendengar suara pemimpin orang-orang kulit merah: "Berhenti! Tahukah orang-orang kulit putih siapa yang berbicara ini? Saya... Tokvi Kava, ketua suku Comanche, mengepalai tigaratus orang Indian. Kalau tuan-tuan mau, dapat satu per satu melewati api ini, tetapi satu per satu pula akan kami tembak!" "Astaga, Tokvi Kava!" kata Baginda. "Ia akan mengambil scalp kita nanti. O, Tuhan, lindungilah jiwa kami!" Tokvi Kava berkata lagi: "Jika orang kulit putih hendak melawan kami, maka akan kami tumpas semuanya. Apabila menyerahkan diri dan senjatanya, akan kami biarkan hidup." Baginda menjawab: "Mengapa saudara kami Mustang Hitam menganggap kami sebagai musuhnya? Kami belum pernah berbuat apa-apa. " "Semua orang kulit putih adalah musuh orang kulit merah. Berikanlah semua bedil itu kepada kami!" "Cobalah ambil sendiri. Kami akan membuktikan, bahwa kami masih dapat mempertahankan diri, meskipun telah terkurung rapat-rapat." "Uf! Lihatlah di atas gunung itu berdiri seratus orang Indian yang siap dengan senapannya dan segera akan memuntahkan pelurunya." "Benar-benar celaka kita," bisik Baginda. Dan dengan suara yang nyaring, serunya: "Saudara saya Tokvi Kava, saudara termasyhur karena keberaniannya dan keadilannya. Saya yakin bahwa terhadap kami, Saudara tidak akan mempunyai rasa permusuhan, karena kami orang-orang yang baik dan jujur. Kami sedia berunding dengan saudara." "Datanglah kemari!" "Itu tidak mungkin, karena kami hanya ada tigapuluh orang. Jika Tokvi Kava tidak datang kepada kami, maka orang mengira bahwa ia adalah pengecut dan tidak begitu banyak jumlah pengikutnya." "Apabila kami datang ke situ, kami akan Anda tangkap." "Tidak, percayalah. Orang yang sedang mengadakan perundingan tidak boleh kami ganggu atau kami tangkap." "Berjanjilah kepada Tuhanmu, bahwa Anda tidak akan menangkap saya." "Kami berjanji sungguh-sungguh." Sesudah api itu agak dijauhkan dari tebing batu, maka lewatlah Mustang Hitam itu, mendekati orang-orang kulit putih. "Insafkah orang-orang kulit putih, bahwa tidak ada gunanya melawan kami?" "Tidak." "Orang-orang kulit putih ini sungguh bodoh. Tidak seorangpun dapat mendaki tebing yang terjal ini. Pengikut-pengikut saya di atas itu telah mengarahkan mulut bedilnya ke bawah." "Pshaw. Kami tidak gentar menghadapi seratus pucuk bedil. Kami dapat bersembunyi di bawah batu-batu besar ini." "Baiklah! Kami akan menjaga Estrecho ini di luar lubang. Dan orang-orang kulit putih akan kami biarkan mati kelaparan dan kehausan seperti tikus dalam perangkap. Tetapi, jika mereka menyerahkan diri sekarang bersama senjatanya, kami sedia memberikan ampun!" "Kami bukan penjahat untuk diberi ampun. Apakah kesalahan kami?" "Pshaw! Tokvi Kava tidak perlu menunjukkan kesalahan-kesalahan orang kulit putih. Kami telah menyatakan perang terhadap semua orang kulit putih, sehingga tiap-tiap orang putih harus kami bunuh di tiang siksaan. Kami sudah sangat berbaik hati, menyanggupkan kemerdekaan kepada tawanan kami. Putuskanlah segera!" Baginda menyahut lagi: "Tokvi Kava menghendaki bahwa kami harus menyerah. Betulkah kami akan tetap hidup dan bebas?" "Ya, saya berjanji," kata ketua suku, meskipun dalam hatinya akan mengingkari janjinya itu. "Jadi, apakah syaratnya, apabila kami menyerah?" "Berikanlah bedil-bedil dan pisau-pisau Anda." "Kuda-kuda kami juga?" "Tidak perlu. Prajurit-prajurit Comanche telah mempunyai kuda-kuda yang jauh lebih bagus." "Dan milik kami lainnya?" "Pshaw. Juga itu tidak kami kehendaki." "Jika kami tidak bersenjata lagi, kami tak dapat berburu binatang dan tak berdaya menghadapi musuh." "Jangan khawatir. Di dekat sini ada benteng bangsa kulit putih, di mana Anda dapat memperoleh senjata baru. Lekas putuskan, kami tidak dapat menunggu lama-lama lagi." Orang-orang kulit putih merasa gelisah. Oleh karena mereka berpendapat, bahwa jiwa mereka lebih berharga daripada senjatanya, maka diputuskan akan menyerahkan semua bedil, pistol, pisau dan peluru mereka kepada orang-orang Indian. Ketika Tokvi Kava mendengar keputusan itu, ia tertawa: "Itulah putusan yang sangat bagus. Letakkan semua senjata di dekat api. Jika kami telah memadamkannya dan mengambil senjata-senjata itu, maka Anda dapat pergi atau tinggal di sini." Akan tetapi sekonyong-konyong terjadi sesuatu yang menggagalkan ini semuanya. Orang mendengar suara barang jatuh sepanjang dinding batu dan sesaat kemudian sosok tubuh orang Indian jatuh terlentang di dasar Estrecho. "Uf, uf!" teriak kepala suku. "Ia tentu tidak berhati-hati, sampai ia terjatuh..." Belum lagi selesai kalimatnya, tubuh yang kedua jatuh pula di samping yang pertama, diikuti yang ketiga. Orang-orang tercengang melihat kejadian yang sangat aneh itu, ketika tiba-tiba terdengar suara: "Tuan-tuan harap menyisih, sayalah yang melemparkan ketiga orang itu dari atas tebing." Manusia yang seolah-olah turun dari udara itu, berpakaian kulit, bertopi lebar, bersepatu laars dan menyandang dua pucuk senapan. Tokvi Kava mengenal suara itu. Ia berteriak seakan-akan ia melihat hantu: "Hai, Old Shatterhand! Uf..., uf!" "Ya, betul. Untunglah saya datang pada saat yang sangat genting ini." Pada saat itu juga Tokvi Kava melangkahkan kakinya untuk menyelamatkan dirinya, tetapi secepat kilat kedua tangan Old Shatterhand telah mencekaunya pada lehernya dan menempelengnya hingga ia roboh tak sadar akan dirinya lagi. "Tuan-tuan, mudah-mudahan saya tidak mengganggu perundingan tuan." "Kami benar-benar tidak mengerti, bahwa orang yang termasyhur di seluruh daerah Barat ini telah jatuh di depan kami seperti malaikat dari langit." "Adakah tuan mengenal saya?" "Ya, dua tahun yang lalu saya melihat tuan di "Spotter Tail Agency" di mana tuan bertaruhan dalam hal menunggang kuda." "Saya tidak tahu, bahwa tuan ada di situ. Siapa nama tuan?" "Orang menamai saya Baginda." "Ah, ya, tuan terkenal sebagai penunggang kuda yang ulung dan pencari jejak yang pandai. Mengapa tuan sampai tertangkap oleh Mustang Hitam dan cucunya dan masuk ke dalam perangkapnya?" "Cucunya?" "Ya, peranakan yang tuan jumpai dijalan tadi siang adalah Ik Senanda atau Yato Inda. Ayahnya adalah orang kulit putih dan ibunya adalah anak ketua suku Comanche." "Astaga! Tetapi, Sir, bagaimana tahunya Anda bahwa kami dibawa ke sini?" "Kami menemukan jejak rombongan Anda dan peranakan itu. Dia dan kakeknya telah mengintai Anda dan mendengar percakapan rombongan orang-orang kulit putih." "Ah, apa betul? Kami sungguh-sungguh orang bodoh. Bahkan kami sudah hendak menyerahkan semua senjata kami kepada orang-orang Indian." "Ya, kebodohan yang sangat besar," kata Old Shatterhand. "Tetapi kami terpaksa, dan kami lebih suka tetap hidup meskipun tanpa senjata." "Justru tanpa senjata itu Anda akan lebih mudah dibunuh oleh mereka." "Mereka telah sanggup tidak akan membunuh kami." "Lidah tidak bertulang, Baginda! Berapa orang Indian mengurung rombongan ini?" "Tiga ratus, masing-masing memegang bedil." "Ah, hanya kira-kira seratus orang dan bedilnya tidak lebih dari selosin, kudanya hanya dua ekor." "Gila mereka," seru Baginda. "Besar mulut mereka! Kalau kami tahu, kami dapat menumpasnya. Akan dipengapakan (diapakan) kepala suku ini?" "Kita akan menunggu sampai dia sadar kembali." "Maukah Anda menceriterakan kepada kami, bagaimana Anda dapat muncul di tempat ini?" "Kami telah berjumpa dengan Mustang Hitam dengan prajurit-prajuritnya di Firewood Camp dan di Gua Birik. Setelah mereka menyerahkan kuda dan senjata mereka kepada kami, mereka meneruskan perjalanan mereka dengan berjalan kaki. Mereka mengira bahwa kami menuju ke Santa Fe. Dijalan mereka akan menuntut balas kepada kami, tetapi kami dapat mengikuti jejak mereka." "Bagaimana itu dapat? Anda toh berkuda?" "Ya, oleh karena mereka berjalan kaki, mereka dapat melewati gunung-gunung, sedangkan kami harus mengambil jalan mengeliling. Kita telah menemukan tempat mereka memotong-motong daging tiga ekor bison dan tempat rombongan Anda bermalam. Akhirnya kami sampai juga di dekat Estrecho ini." "Berapa orang rombongan Anda?" "Hanya enam orang." "Hee?" "Ya betul! Kami sanggup menghadapi seratus orang Comanche yang tidak bersenjata itu. Seperti Anda lihat, saya sendiri ada membawa pembunuh-beruang saya, senapan Henry, dua revolver dan empatpuluh peluru. Dan di sana ada seorang lagi yang melebihi seratus orang Comanche." "Siapa dia?" "Winnetou." "Winnetou, ketua suku Apache? Ha, kalau begitu, kami semua merasa aman. Old Shatterhand dan kawan-kawannya telah menolong jiwa kami. Terima kasih." "Kami telah mengepung Estrecho ini. Dalam pada itu kami tadi telah menempeleng salah seorang dari rombongan Anda yang bernama Hum." "Ya, ya, pemuda itu sungguh baik hati dan lebih sehat pikirannya daripada kami semua." "Kami tadi mendaki lereng ke atas dan dari situ kami dapat melihat semua yang terjadi di dalam Estrecho. Dengan sebuah lasso saya hendak turun ke bawah, tetapi tiga orang Indian melihat saya bergerak. Terpaksa saya menjotosnya hingga mereka jatuh terbentur di dasar Estrecho. Rombongan Anda tertolong semua, sebab di belakang barisan orang-orang Indian, berdiri siap kawan-kawan saya dengan bedilnya." Tidak lama kemudian Tokvi Kava bangun dari pingsannya dan dipaksanya dia menceriterakan apa yang telah dilakukan, semenjak ia meninggalkan Firewood Camp. Oleh karena ia telah bermaksud jahat terhadap orang-orang yang tidak berdosa, maka bersama cucunya ia mendapat hukuman dera sebanyak duapuluh kali pukulan dengan kayu di atas punggungnya. Dengan perasaan dendam akhirnya kedua orang itu meninggalkan Estrecho diikuti oleh prajurit-prajuritnya. Oleh karena tidak ada lagi bahaya yang mengancam, rombongan itu duduk-duduk di sekitar api unggun, sambil menceriterakan pengalaman masing-masing. Ketika disinggung kata Bonanza, maka Old Shatterhand berkata: "O, jadi Anda bermaksud mencari Bonanza?" "Ya, Sir! Bukankah Bonanza itu tersembunyi di Estrecho ini?" "Ha, ha! Tahukah Anda arti Bonanza?" "Tidak. Belum pernah saya menjumpai orang yang tahu akan artinya." "Ada juga orangnya, misalnya Winnetou dan saya. Hoaka adalah bahasa Acoma, artinya: langit, sorga. Jadi "Bonanza dari Hoaka" berarti "Bonanza dari sorga." Orang-orang kulit putih mencari Bonanza itu di daerah ini, dan kerapkali harus mengorbankan jiwanya, sedangkan mustinya hanya terdapat di sorga. Begitulah ceritera itu hidup dari mulut ke mulut, dalam dongeng-dongeng kuno dan akhirnya didengar pula oleh pencari-pencari emas dan petualang-petualang." "Ya karena dongeng hampa saja kami hampir-hampir kehilangan jiwa kami." "Tetapi Tokvi Kava dan Ik Senanda sudah cukup diberi hukuman dera. Saya sebenarnya tidak begitu setuju dengan hukuman jasmaniah. Pada orang yang berperasaan halus hukuman itu menyebabkan gangguan jiwa dan melukai perasaan harga diri. Tetapi, memang ada oknum-oknum yang perlu diberinya, karena kata-kata saja dianggapnya angin belaka. Quod erat Damon stratus.*" kata-kata itu diucapkan Hobble-Frank dalam suasana khidmat. (*Kata-kata itu salah, mestinya: Quod erat demonstrandum-yang dapat dibuktikan) Tall Hum tahu sifat si Hobble-Frank yang suka memakai kata-kata asing tetapi tidak tahu benar artinya. Maka ia menyela: "Permisi Mister Frank! Kalimat itu seharusnya: 'Quod erat demonstrandum'." "Ai, anak muda, Anda mau lebih pintar dari orang yang telah lebih banyak makan garam ini? Tahukah Anda siapa nama saya?" "Ya, tentu, Mr. Frank." "Frank? Hanya Frank saja? Saya dahulu dibaptis dengan nama Heliogabalus Morpheus Eduardus Frank, pemburu prairi dari Moritzburg. Orang yang mempunyai nama yang panjang dan besar seperti saya, tidak mau menerima peringatan-peringatan dari seorang anak muda. Katakanlah siapa nama Anda?" "Hum." "Hum? Hum...? Itu bukan nama orang. Tidak ada manusia yang suka mengambil nama seaneh itu." "Memang. Tetapi saya tidak suka mengucapkan nama saya yang sebenarnya, karena alasan estetika." "Ha, tentu nama Anda sangat jelek. Beranikah Anda mencela nama saya yang indah ini: Heliogabalus Morpheus Eduardus Frank? Kalau begitu, datanglah di kantor pencatatan jiwa, mintalah nama Anda diubah kepada David Makabeus Timpe." Ketika Tall Hum mendengar nama itu, ia bertanya keheran-heranan: "Dari mana mister mendapat nama itu?" "Saya? Itu bukan nama saya. Saya tidak akan memilih nama semacam itu. Andaikata saya bernama Timpe, saya akan bunuh diri ke dalam laut." "Tetapi, kenalkah mister Frank orang dengan nama Timpe?" "Ya, saya kenal dua orang yang bernama begitu." "Di tanah air Anda?" "Tidak, negeri Jerman akan dicemarkan oleh nama-nama itu. Tetapi di Amerika sini." "Di mana?" "Di Rocky Ground." "Mereka masih diam di sana?" "Tidak, sekarang mereka tinggal di sini, di Estrecho. Itulah orangnya yang namanya Has dan Cas." Hum berpaling kepada kedua pemuda itu dan bertanya: "Betulkah nama Anda Timpe?" "Ya, saya bernama Casimir Obadja Timpe, dan itu, saudara sepupu saya Hasael Benyamin Timpe." "Di mana Anda dilahirkan?" "Di Plauen, daerah Saksen. Mengapa Anda tertarik kepada nama Timpe?" "Karena saya mengenal orang yang bernama Timpe pula." "Di mana? Jawab Anda sangat penting bagi kami." "Mengapa Anda berdua meninggalkan Saksen?" "Kami pergi ke Amerika untuk mencari warisan kami. Kami telah ditipu orang." "Ditipu? Oleh siapa?" "Seorang sanak telah melarikan diri dengan membawa warisan yang menjadi hak kami itu. Ia bernama Nahum Samuel Timpe dan diduga ia ada di Santa Fe. Oleh sebab itu kami pergi kesana untuk membekuk batang lehernya." "AU devils. Dari siapa warisan itu?" "Dari paman kami yang bernama Josef Habakuk Timpe, yang telah meninggal dunia tanpa mempunyai anak-turun." "Tuan-tuan, ceritera Anda amat penting bagi saya. Bagaimana Anda tahu, bahwa paman itu meninggalkan warisan?" "Dari kedua saudara sepupu kami di Plauen yang bernama Petrus Micha Timpe dan Absalon Markus Timpe. Mereka masing-masing menerima seratus ribu thaler*." (*Uang Jerman dahulu. Kata thaler mirip dengan dollar.) "Dan sekarang Anda berdua ada di Amerika untuk mencari bagian Anda." "Ya, berapa surat sudah kami kirimkan, tetapi sia-sia saja." Sambil tertawa terbahak-bahak, Tall Hum berkata: "Anda sekarang hendak ke Santa Fe, bukan? Itu tidak perlu! Orangnya ada di sini, di Estrecho." "Hee? Di mana? Siapa?" teriak Has dan Cas bersama-sama. "Saya orangnya. Nama saya telah saya singkat, dari Nahum menjadi Hum. Lengkapnya Nahum Samuel Timpe. Tangkap sajalah saya, saudara sepupu yang curang." Has dan Cas tidak berbuat apa-apa karena keheran-heranan. Hobble Frank menghendaki Hum digantung saja. Semua pasang mata ditujukan kepada Hum. Akhirnya Hum membuka rahasia warisan keluarga Timpe dengan ceriteranya yang singkat: "Ketika paman Josef Habakuk meninggal dunia, ia hanya meninggalkan surat-surat di antaranya sepucuk yang berasal dari saudara-saudara sepupu kita, di Plauen. Mereka beruntung menarik lotre seratus ribu thaler dan ingin mempermainkan keluarga-keluarga Timpe di Plauen dan Hof karena mereka selalu hidup bermusuhan. Uang tersebut dikatakannya adalah warisan dari paman Habakuk yang ada di Amerika. Anda semua percaya akan ceritera kosong itu, dan mengira bahwa bagi Anda ada pula harta tersedia. Anda hanya kecele, akan tetapi sayalah yang sebenarnya kehilangan warisan yang menjadi hak saya. Ayah saya tiap bulan selalu mengirimkan uang kepada paman Habakuk dengan maksud, agar uang itu dapat dijalankan sehingga menjadi banyak, dan akan diwariskan kepada saya. Tetapi ternyata, bahwa semua uang itu dipakainya sendiri. Tetapi baiklah kita semua tidak usah merindukan harta yang belum diridhakan oleh Tuhan. Kita masih muda, masih kuat dan penuh semangat. Di Amerika kita akan menjadi kecukupan, asal mau bekerja keras secara jujur." "Cocok, cocok!" sela Frank "Memang, ketika saya melihat bentuk kepala Hum ini, saya sudah mengira, bahwa di dalamnya ada terdapat otak, bukan bubur atau pasir. Hendaknya Anda mendirikan persekutuan usaha dengan nama 'The Timpe Company'. Saya yakin, bahwa darah muda dan merah yang mengalir di tubuhmu itu akan membuat besar usaha itu. Dan apabila kelak Anda melihat lagi muka saya yang istimewa ini, katakanlah: 'Ha itu si Heliogabalus Morpheus Eduardus Frank!' atau dengan singkat Hobble Frank. Selesai! Howgh." TAMAT Edit & Convert: zhe (zheraf.wapamp.com) http://www.zheraf.net